BALI TRIBUNE - Dalam teori politik klasik, politik adalah upaya untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan untuk mengurus kepentingan umum. Namun, dalam dunia modern yang diwarnai dengan ketatnya persaingan antara manusia, makna politik dipenggal hanya menjadi upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Padahal sejarah peradaban manusia sejak istilah "negara kota" sebagai cikal bakal politik hingga praktik politik paling modern, tampaknya sulit mengingkari makna demikian. Bahwa Politik membutuhkan energi untuk meraih kekuasaan demi melindungi kemaslahatan umum.
Saat penguasa Athena membangun perlindungan dari pagar batu, sampai para kepala negara mengkerangkai wilayah teritori dengan hukum negara, azas perlindungan secara inplisit tersimpan di sana. Meski begitu, dalam praktiknya kita belum bisa melihat jelas apakah kuasa dalam politik digunakan untuk melindungi atau perlindungan politik dijadikan temeng untuk menguasai.
Kekaburan konsep ini sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yang kemudian dimanfaatkan Marchiavelli untuk menggagas sebuah aliran politik yang secara sederhana disimpulkan dalam sebuah kalimat paling terkenal; "Politik menghalalkan cara".
Para spektulan politik kontemporer umumnya lebih mewarisi konsep Niccowo Machiavelli seperti ditulis dalam bukunya "The Prince, 1513". Dengan mengadopsi konsep macchiavellis, maka secara intrinsik politik sesungguhnya menyembunyikan makna yang lebih azasi yakni bahwa politik adalah energi yang dibutuhkan dalam rangka melindungi dan bukan sekedar menguasai.
Bagi Marchiavelli, demi politik, semua cara bisa digunakan termasuk membunuh sekalipun. Toh, demikian dalil kaum machiavellian, setelah kekuasaan diperoleh sang penguasa dapat berbuat untuk orang banyak, termasuk memberi perlindungan kepada masyarakat sipil.
Bagaimanapun alasannya, konsep politik demikian tak bakal cocok dalam sebuah negeri beradab seperti Indonesia. Bila prinsip "politik menghalalkan cara" dijadikan pegangan, maka tentu saja akan terjadi lautan darah dalam setiap kampanye pemilu. Oleh karena itu, politik uang pun sebenarnya tak bisa diterima sebagai praktik politik yang ideal di Indonesia. Tapi, apakah memang politik uang dapat diberangus yang hanya dengan alasan itu? Tidak.
Pada setiap suksesi kepemimpinan politik dari pusat hingga kedaerah, selalu diwarnai politik uang. Bahkan, politik uang saat ini menjadi hantu yang menakutkan penyelenggara pemilu dan segenap stakeholder sebagai taktik busuk mencederai kualitas pemimpin yang dihasilkan dengan Pilkada.
Meski sejauh ini, belum ada tengara politik uang di Pilgub Bali, namun kekhawatiran itu masih tetap ada. Sebab, secara potensial, masih banyak pemilih yang mudah digoda pilihan politiknya dengan uang, juga para kontestasi yang memiliki kekayaan cukup untuk melakukan itu.
Jika di Bali masih bersifat potensi, maka Pilgub NTT Selain itu, sudah mulai tercium aroma politik uang. Sejumlah aktivis LSM bahkan berani mendengarai praktek itu lantaran ada kandidat berbuat tebal yang menggambarkan dana besar dalam setiap kampanye ya hanya dikelas dalam bentuk "sumbangan".
Untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas, hendaknya kita semua punya cara untuk mempersempit ruang terjadinya praktik itu, meski masih berupa potensi dan tengara. Sebab, di dalam masyarakat yang sedang terinjeksi budaya kapitalis-liberal, uang akan dengan muda merusak idealisme mereka untuk menggantikan hak pilihnya dengan rupiah. Kita kemudian dibayang-bayangi dengan hadirnya pemimpin yang tak ideal dan tidak atas kehendak pemilih yang sesungguhnya.