balitribune.co.id | Denpasar – Pelaku pariwisata di bidang perhotelan memberikan berbagai masukan kepada pemerintah untuk menumbuhkan kepercayaan pasar mancanegara apabila nantinya pariwisata Bali dinyatakan akan dibuka kembali bagi kunjungan internasional. Pertama adalah agar dilakukan sidak oleh Satpol PP bila ada jenis usaha yang sudah buka, untuk mengecek apakah sudah diverifikasi atau belum.
"Kalau belum, agar ditutup sampai verifikasi dilakukan. Verifikasi ini bisa dijadikan momentum untuk mengecek perizinan yang dimiliki oleh bidang usaha, sehingga tercipta tertib administrasi dan perijinan," jelas Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali, Nyoman Astama beberapa waktu lalu.
Begitu juga setelah dilakukan verifikasi agar tetap dimonitor dan evaluasi oleh instansi berwenang. Sehingga fakta integritas yang ditandatangani oleh bidang industri menjadi bermakna. Kemudian kedua, mendorong untuk diadakan asuransi Covid-19 yang bisa dibayar tamu per hari secara online sebelum berangkat dari negaranya sebagai tambahan syarat masuk Indonesia.
"Asuransi ini bisa menanggung seluruh biaya perawatan seandainya ada wisatawan yang sakit dan terpapar Covid-19. Bahkan bisa dibuatkan pilihan untuk asuransi jiwa," sebutnya.
Ketiga, melakukan soft approach dengan merelaksasi atau melonggarkan kebijakan dengan membuat percontohan destinasi Indonesia yang bisa dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dengan melihat data destinasi tersebut adalah zona hijau Covid-19, dengan melakukan perlakuan khusus dan pantauan terus-menerus.
Keempat, melakukan Travel Bubble dengan negara yang memasukkan Indonesia (Bali) dalam greenline dan tidak memasukkan Indonesia (Bali) dalam red zone. Sebagai contoh Travel Bubble bisa dilakukan dengan Negara Ukraina, karena Ukraina tidak menempatkan Indonesia ke dalam red zone dan ada pesawat terbang dari sana keluar negara seperti Emirates, Qatar, Turkish Airlines.
"Juga segera akan ada reciprocal free visa antara Ukraina dan Indonesia. Ini suatu kesempatan yang bisa dilakukan melalui pendekatan yang ada," imbuh Astama.
Kelima, promosi ke luar negeri begitu wisatawan mancanegara sudah direaktivasi ke Indonesia, mesti dilakukan promosi ke negara yang mau dan mengizinkan warganya ke Indonesia. "Tidak bisa kita berpatokan dengan pola pikir lama, ke negara yang sebelum Covid-19 banyak ke Indonesia (Bali) karena negara-negara tersebut belum mengizinkan warganya ke Indonesia. Ini salah satu target pasar new normal untuk pasar internasional," ulasnya.
Terakhir adalah tetap berusaha mengusulkan ke pemerintah pusat agar Bali bisa diberikan kelonggaran atau relaksasi bagi wisatawan mancanegara dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Masukan tersebut Astama sampaikan menyusul kebijakan pemerintah menunda pariwisata Bali dibuka untuk menerima kunjungan wisatawan asing yang sebelumnya dijadwalkan pada 11 September 2020. Namun ditunda hingga akhir tahun 2020 karena kondisi Covid-19 yang belum kondusif. "Ditengah keputusan pemerintah menunda pembukaan dan reaktivasi pariwisata Bali untuk wisatawan mancanegara, semestinya upaya-upaya untuk meyakinkan pasar harus terus dilakukan," katanya.
Astama menilai upaya sebelumnya yang dilakukan pemerintah dan industri sudah sangat bagus dengan mengikuti anjuran dan prosedur protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment friendly) sesuai yang ditetapkan pemerintah pusat dalam kerangka tatatan Bali era baru. Bahkan Dinas Pariwisata Provinsi Bali dan kabupaten/kota pun telah membentuk tim verifikasi untuk melakukan pengecekan. Serta verifikasi terhadap kesiapan industri baik oleh perusahan/manajemen maupun karyawannya dalam menerapkan protokol kesehatan yang meliputi unsur produk, pelayanan dan tata kelola. "Yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah penerapan protokol kesehatan oleh masyarakat dan wisatawan," cetusnya.
Astama menambahkan, banyaknya bidang usaha yang sudah beraktivitas, mesti didahului dengan verifikasi dan dilakukan pengawasan atau monitoring kalau benar-benar ingin wisatawan percaya terhadap kesiapan Bali. Mengingat kekhawatiran pemerintah bila Bali dibuka dapat menyebabkan klaster baru. Dalam hal ini seharusnya dilakukan antisipasi yang lebih gigih dan menyeluruh lagi, kalau memang menjadikan pariwisata ini semua bisnis yang serius.
"Jangan kasi kendor, begitu istilah yang sering diucapkan. Ini harus diimplementasikan dengan nyata di lapangan agar tidak hanya menjadi wacana," katanya.