Gianyar, Bali Tribune
Puluhan tahun hidup berdampingan dengan koloni burung kokokan atau bangau putih, krama Adat Petulu Gunung, Desa Petutu Ubud, terus berupaya menjaga keharmonisan. Untuk menjaga habitatnya, kini sudah disiapkan hutan baru di sebelah Utara Pura Desa setempat. Melalui Pecaruan di Palinggih Ratu Kokokan, Sabtu (18/9), warga memohon agar koloni kokokan memanfaatkan hutan itu, selain pohon-pohon di pinggir jalan.
Prosesi diikuti oleh seluruh krama dan prajuru adat setempat yang dipimpin oleh Pemangku Pura. Kali ini, upacara yang bertepatan dnegn Hari raya Kuningan itu, terbilang khusus karena dirangkai dengan pecaruan guru pidhuka. Serangkaian prosesi, warga bersesaji dihadapan stana ratu kokokan. Sebagai ungkapan syukur atas kemakmuran desa, semenjak kehadiran burung kokokan setengah abad lalu, Dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya ke depan, kokona yang disucikan itu diharapkan memanfaatkan hutan baru yang telah disiapkan sejak beberapa tahun lalu.
Dari penuturan Ketua Badan Pegelola Konservasi Kokokan Petulu, I Wayan Suardana, prosesi di Palinggih Ratu Kokokanm sudah dilakukan secara rutin. Berkaitan dengan keberadaan koloni burung kokokan atau bangau puti yang hidup berdampingan dengan warga desa adat Petulu Gunung yang memiliki nilai sosio- historis. “Hingga kini pun warga menyakini kekeramatan burung ini dan mensyukuri keberadaannya dengan menggelar upacara kokokan,” ungkapnya.
Disebutkan, dengan memanfaatkan laba Pura, seluas kurang lebih seratus hektar, kini sudha disiapkan hutan yang sudah ditumbuhan berbegai jeni pohon yang rindang. Namun sayang, tak satu pun dari ribuan kokokan yang ini bersarang di hutan itu. “ Keberadaan kokokan ini diyakini umat sebagai utusan tuhan yang senantiasa menjaga desa dari gangguan penyakit dan hama. Pada kesempatan ini, warga memohon agar keberadaan koloni burung selalu dalam lindungan tuhan. Seiring itu, warga dan kokokan senantiasa hidup rukun dan langgeng. “Mudah-mudahan melalui prosesi upacara ini, ada kokokan yang mau memanfaatkan hutan ini. Secara sekala kami sudah upayanya namun belum juga berasil,” terangnya.
Ditambahkan oleh Bendesa Adat Petulu, I Wayan Beneh, dari keyakinan warga ini pula, habitat kokokan selalu dilindungi warga. Didukung dengan aturan adat yang memastikan pengganggu burung bakal dikenai sangsi adat yang cukup berat.
Puncak prosesi, warga desa menggelar persembahyangan bersama. Lanjut itu air suci anugerah ratu kokokan di percikan. Dari langkah ritual ini, selanjutnya bakal diwujudkan dalam laku nyata. Salah satunya, dalam waktu dekat warga desa akan membangun hutan baru dengan memanfaatkan lahan desa.
Bercerita ke awal, Beneh menuturkan kokokan ini mulai bersarang di Desa Petulu sejak tahuan 1965. Burung ini mulai datang ke pohon-pohon yngg ada di desa setempat itu. Jumlahnya saat itu, hanya sekitar 5 ekor. Beberapa bulan kemudian, jumlahnya mulai bertambah banyak. “Awalnya oleh masyarakat kami, burung ini ditangkap untuk dipelihara atau dipotong jadi makanan,” terangnya.
Kemudian muncul keanehan, warga yang telah menangkap burung ini serentak mengembalikan burung itu. Warga mengaku didatangi oleh makhluk aneh bertubuh besar dan menyeramkan. Setelah berkonsultasi dengan seorang pendeta, dilakukanlah ritual permintaan maaf di pura desa setempat.
Saat prosesi berlangsung, pemangku pura desa mengalami trance dan mengatakan kalo burung kokokan ini sebenarnya adalah rencang (pengawal) Ida Betara yngg dipuja di pura desa setempat. Burung-burung ini adalah pasukan yang akan menjaga desa secara segi niskala (dunia maya) dari gangguan penyakit dan hama yg menyerang sawah mereka. “Setelah masyarakat membuat sebuah tugu di pura desa sebagai persembahan terhadap kokokan, desa kami menjadi makmur, panen melimpah hingga kini,” pungkasnya.