Diposting : 24 October 2022 13:28
HAN - Bali Tribune
balitribune.co.id | Denpasar - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Nyoman Gede Anom mengatakan ada 17 pasien gagal ginjal akut di wilayahnya. Dari jumlah itu, 11 pasien meninggal dunia.
Dari 17 pasien itu, dua orang dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof Ngoerah atau RSUP Sanglah, Denpasar.
"Sampai saat ini 17 orang dan memang ada dua orang dari luar Bali. Dan 11 orang meninggal dan 6 sembuh dan tidak ada penambahan kasus lagi," kata Gede Anom, di Kantor Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Jumat (21/10) pekan lalu.
Mengenai pasien dari Bali, paling banyak berasal dari Denpasar. Ada pula yang berasal dari Bangli, Klungkung serta Gianyar.
Gede Anom mengatakan keluhan yang dialami pasien antara lain kencing yang jarang dan bahkan ada yang tidak buang air kecil dalam 24 jam. Kemudian ada gangguan infeksi saluran pernapasan, saluran cerna, muntah, mencret.
"Nah itu yang membawa mereka ke rumah sakit ini. Jelas ada masalah, 24 jam tidak kencing itu baru kita cek yang namanya fungsi ginjal itu terjadi peningkatan," kata Gede Anom.
Sejauh ini, Dinas Kesehatan Bali tengah melakukan surveilans terhadap para pasien yang mengalami ginjal akut tersebut. Tujuannya untuk mendeteksi obat apa yang dikonsumsi pasien hingga dirujuk ke rumah sakit.
Sejauh ini, di lingkup nasional, ada 241 kasus gagal ginjal akut dengan 133 anak meninggal dunia. Meski demikian, pemerintah RI memastikan belum menetapkan kasus gagal ginjal akut akan berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB).
"Kita sudah diskusi belum masuk status KLB," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) dalam konferensi pers di kantor Kemenkes, Jakarta, Jumat (21/10) malam.
Menurut Budi Gunadi, Pemerintah RI memastikan belum menetapkan kasus gagal ginjal akut akan berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB).
Dalam konferensi pers tersebut, Budi mengatakan kekinian sudah ada 241 pasien gagal ginjal akut yang terdata dari 22 provinsi, sebanyak 133 di antaranya telah meninggal dunia. Budi mengatakan mayoritas pasien penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya ini berasal dari golongan anak-anak, dengan pasien paling banyak bayi di bawah lima tahun (balita).
"Hari ini saya ingin memberi update lanjutan dari dua hari lalu. Sampai sekarang kita sudah mengidentifikasi ada 241 kasus gangguan ginjal akut di 22 provinsi dengan 133 kematian atau 55 persen dari kasus," kata Budi.
Kemenkes, kata Budi, mencatat gejala paling banyak dialami adalah oliguria (air kencing sedikit) atau anuria (tidak ada air kencing sama sekali),
Ia sekaligus menegaskan hingga saat ini penyebab penyakit gangguan ginjal akut progresif atipikal masih belum dapat diidentifikasi. Namun ia memastikan, penyakit misterius ini tidak terkait dengan pemberian vaksin virus corona (Covid-19).
"Apakah gara-gara vaksin? Di bawah lima tahun belum divaksin," kata dia.
Kemenkes menurutnya sudah mewanti-wanti agar orang tua lebih waspada dengan dengan cara terus memantau jumlah dan warna urine yang pekat atau kecoklatan pada anak.
Apabila urine berkurang atau berjumlah kurang dari 0,5ml/kgBB/jam dalam 6-12 jam atau tidak ada urine selama 6-8 jam, maka pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit.
Selanjutnya, pihak rumah sakit diminta melakukan pemeriksaan fungsi ginjal yakni ureum dan kreatinin. Apabila hasil fungsi ginjal menunjukkan adanya peningkatan, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis, evaluasi kemungkinan etiologi dan komplikasi.
Dijelaskan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Bali menurunkan tim surveilans untuk menelusuri kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di wilayahnya.
"Ada tim khusus dari bagian pengendalian penyakit, mereka bergerak, kerjanya langsung survei di masyarakat, terutama yang terdampak penyakit (gagal ginjal akut)," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Nyoman Gede Anom.
Ia menjelaskan bahwa tim surveilans yang meliputi petugas Dinas Kesehatan tingkat kabupaten dan kota diturunkan untuk melakukan survei mengenai obat-obatan yang biasa dikonsumsi anak ketika sakit serta memeriksa kondisi anak yang mengonsumsi obat.
"Mereka sudah ahlinya, misalnya suatu daerah ada berapa bayi maka diambil sampel jumlah tertentu untuk langsung dikirim ke pusat atau Kemenkes, nanti baru dilaporkan ke kita," katanya.