balitribune.co.id | Ketika Sri Sultan Hamengkubuwana IX bertahta, beliau menegaskan bahwa tahtanya akan dipersembahkan untuk rakyatnya. Dalam pidato pertama setelah pengukuhannya sebagai Raja Kesultanan Yogyakarta, yang dihadiri para pejabat Belanda, di antaranya Hubertus Johannes van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang terakhir dan Lucien Adam, Gubernur Belanda untuk Yogyakarta, Sri Sultan menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda yang fasih yang berisikan pernyataan sikap yang tegas bahwa ia tidak akan membantu pemerintah Belanda, tetapi berjanji akan memerhatikan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dalam buku Raja Di Negara Republik karya John Monfries, Sri Sultan dengan gamblang menyatakan al heb ik een uitgesproken westerse opvoeding gehad, toch ben ik en blijf ik in de allereeste plaats javaan yang berarti saya telah mengalami pengasuhan barat yang luas, namun saya, dan di atas segalanya tetap orang Jawa.
Pernyataan Sri Sultan ini dapat ditafsirkan bahwa kendati ia menjadi raja di masa Hindia Belanda dan mendapatkan pendidikan di negeri Belanda, ia terang-terangan mengungkapkan nasionalismenya di hadapan para pejabat Belanda yang hadir, meski ia menggunakan terminologi "orang Jawa" guna menyatakan nasionalismenya itu. Kita dapat memahami mengapa Sri Sultan menggunakan terminologi "orang Jawa" karena terminologi "Indonesia" pada saat itu tidaklah populer seperti yang kita alami saat ini. Dan sebagaimana yang juga kita baca dalam buku karya John Monfries, selama Sri Sultan Hamengkubuwana IX memangku jabatan sebagai Raja Yogyakarta, ia tidak sedikitpun ragu akan nasionalismenya itu dan secara mengesankan memperbaharui kekuasaan tradisionalnya yang memperoleh legitimasi dari falsafah leluhur yang penuh mistik itu dengan memberi bentuk yang lebih baru yakni memadukan kekuasaannya yang berpola fedoalistis dengan corak kekuasaan yang demokratis.
Dengan bentuk yang baru itu, Sri Sultan ingin agar kekuasaannya mampu menyerap suasana zamannya yang tengah berjuang untuk merdeka dan peka menanggapi penderitaan-penderitaan yang dirasakan oleh rakyat. Tidaklah heran kemudian, dalam perkembangannya, Sri Sultan muncul sebagai sosok yang memiliki posisi tersendiri di dalam kehidupan masyarakat di tanah air, khususnya di wilayah di mana ia menjadi sultannya.
Dalam kancah politik, Sri Sultan pernah menjadi Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, Wakil Presiden RI, dan pada level daerah ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Posisinya yang strategis sebagai politisi dan raja tidaklah membuat dirinya kehilangan pesona sebagai pemimpin yang populis. Kendati memiliki derajat yang tinggi sebagai seorang ningrat, beliau tidak kehilangan sikap dan sifat kesederhanaan hidup serta pengorbanannya yang luar biasa bagi kemaslahatan masyarakat. Dengan kata lain, beliau adalah sosok yang senantiasa menempatkan kepentingan orang lain, bangsa, dan negaranya di atas kepentingan pribadinya. Dialah sosok raja yang mempersembahkan tahtanya untuk rakyat yang sangat dicintainya.
Cerita tentang ketokohannya sebagai raja yang populis, misalnya, sangat populer di kalangan masyarakat Yogyakarta saat ia memberikan tumpangan bagi seorang ibu yang hendak ke pasar. Sang ibu marah-marah saat Sri Sultan tak mau menerima ongkos dan segera setelah itu ibu tersebut pingsan saat mengetahui bahwa orang yang memberinya tumpangan adalah seorang Raja Yogyakarta.
Masih banyak cerita yang lain yang menggambarkan betapa Sri Sultan merupakan figur pemimpin yang menjelma menjadi tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat. Ia adalah panutan yang selesai sebelum memulai yakni pemimpin yang telah selesai dengan segala urusan pribadinya sebelum dia mengurusi rakyatnya.
Dalam konteks, locus, dan tempus saat ini tentu sangatlah sulit bagi kita untuk menemukan sosok yang serupa dengan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam karakternya sebagai pemimpin yang par excellent. Kita justru menemukan para pemimpin yang memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri dan kelompoknya serta tak sungkan mempertontonkan kekuasaannya di hadapan masyarakat kecil. Tetapi ada sisi-sisi tertentu dari Sri Sultan yang bisa kita cermati dari sedikit pemimpin yang ada saat ini, minimal mereka memiliki tekad untuk mempersembahkan jabatan yang mereka miliki itu kepada rakyat. Artinya bahwa jabatan yang diembannya itu dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, bukan kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.
Di antara yang sedikit itu kita bisa merujuk kepada Pak Koster, Gubernur Bali 2018-2023 yang juga bertindak sebagai ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PDIP Provinsi Bali. Jika Sri Sultan mendedikasikan tahtanya untuk rakyat Yogyakarta, maka Pak Koster, sebagaimana yang beliau utarakan kepada penulis, mengoptimalkan jabatannya sebagai gubernur untuk masyarakat Bali. Artinya, jabatan yang disandangnya tak membuatnya kehilangan kontak dengan publik Bali, dan wujud kontak itu tidaklah harus berbentuk blusukan atau nongkrong bareng masyarakat di tempat umum, karena kontak semacam itu cenderung dinilai sebagai bagian dari pencitraan, tetapi bentuk kontaknya berupa bekerja tanpa kenal waktu untuk mewujudkan visinya demi kemajuan dan kemaslahatan masyarakat Bali (bonum publicum).
Bentuk kontak semacam ini lebih substansial karena mengedepankan pemenuhan atas janji-janji yang disampaikan dalam kampanye dan mengerjakan dengan cepat apa yang menjadi keluhan masyarakat melalui media dan parlemen. Ketekunan bekerja demi mensejahterakan rakyat Bali membuat Pak Koster tenggelam dalam kesibukan yang membuatnya lupa akan waktu dan keluarga. Bahkan berseloroh bahwa ia lupa kalau dirinya adalah seorang gubernur dan baru menyadari bahwa dirinya adalah seorang gubernur ketika dipanggil pembawa acara untuk memberikan sambutan sebagai gubernur.
Pak Koster tentu saja bukanlah seorang raja yang memperoleh kekuasaannya melalui proses turun temurun, tetapi dirinya hanyalah seorang anak desa yang mendapatkan kekuasaannya melalui sebuah pemilihan umum yang menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Jika seorang raja hampir tak bisa dikritik, maka hampir saban waktu Pak Koster mendapatkan kritik yang kadang menjurus pada fitnah dan cacian dari banyak kalangan yang tak menerima kebijakan yang beliau lahirkan.
Demikianlah resiko yang diterima oleh seorang pemimpin yang sumber kekuasaannya berasal dari rakyat, dan karena itu harus bersedia menerima tumpahan kritik kendati kritik tersebut sangat menyakitkan, tidak saja dirasakan oleh seorang pemimpin itu sendiri, tetapi dirasakan juga oleh keluarganya. Tentu saja rakyat pada posisi yang patut memberikan kritik karena, sekali lagi, sumber kekuasaan seorang pemimpin berasal dari rakyat, tetapi rakyat juga patut memiliki kesanggupan untuk merumuskan kritiknya secara konstruktif meski dalam kondisi yang sangat emosional sekalipun, sebab seorang pemimpin tentu membutuhkan kritik yang tajam namun dalam koridor yang konstruktif.
Sebagai seorang gubernur pilihan rakyat, Pak Koster tentu saja pada posisi menerima dengan lapang dada semua kritik dan berusaha semaksimal mungkin menjawabinya dengan langkah yang praktis dan konkret.
Tentu saja, baik Sri Sultan maupun Pak Koster memiliki perbedaan sumber dan legitimasi kekuasaannya, tetapi kekuasaan yang digenggam keduanya diabdikan untuk rakyatnya. Logikanya sederhana bahwa seorang pemimpin tak akan ada tanpa rakyat, dan sebaliknya rakyat dengan kompleksitas masalah yang dihadapinya tentulah membutuhkan pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin akan hadir sesuai dengan tantangan, sesuai dengan era, dan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh seorang pemimpin pastilah berbeda dan karena itu pula memiliki cara yang berbeda pula di dalam menghadapi tantangan tersebut.
Sebagaimana Sri Sultan, Pak Koster sendiri tentu memiliki pilihan cara tersendiri di dalam menghadapi tantangan yang ia temui, dan cara-cara itu relevan dengan tantangan tersebut. Esensinya adalah bahwa baik Sri Sultan dan Pak Koster berupaya dengan kuat agar jabatan yang diembannya memiliki manfaat bagi rakyat, dan karena itu merek mencurahkan tenaga, waktu, dan pikiran mereka untuk rakyat.
Kita yakin bahwa sejelek apapun kesan dan kritik rakyat kepada seorang pemimpin yang disampaikan dalam berbagai saluran, entah itu di media sosial maupun di forum-forum diskusi, haruslah dianggap sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya, dan oleh karena itu pemimpin juga harus peduli dan cinta kepada rakyatnya. Seorang pemimpin tidak perlu menanggapi setiap kritik dengan emosional karena sikap emosional tidak akan banyak membantu meredakan sikap kritis publik, dan bisa jadi hal itu akan menebalkan sikap oposisi rakyat terhadap pemimpinnya.
Pak Koster menyadari hal itu sehingga beliau, pada akhirnya, menghadapi setiap kritik yang pedas sekalipun dengan senyum dan mengambil hikmah dari kritik itu untuk memperbaiki keputusan dan pendekatannya di dalam menjalankan kepemimpinannya. Jadi, tahta untuk rakyat atau jabatan untuk masyarakat adalah sebuah metoda untuk menjadikan kekuasaan yang dipegangnya lebih bermakna bagi rakyat, dan metoda itu sangat tergantung pada tantangan, era, dan kebutuhan. Wassalam.
Tabanan, 15 Oktober 2023.