BALI TRIBUNE - Molornya pengerjaan proyek Jaringan Bali Crossing (JBC) yang di target selesai 2019 rupanya masih menjadi polemik, terutama terkait penolakan beberapa pihak yang tidak setuju atas proyek JBC. Padahal proyek JBC diharapkan bisa memenuhi pasokan listrik di Bali yang diperkirakan Th 2020 akan memgalami defisit listrik. “Kami cuma minta kepastian dari pihak yang menolak, alasan yang pasti kenapa penolakan itu terjadi,” ujar General Manager PLN Distribusi Bali, Nyoman Suwarjoni Astawa, saat mengadakan media briefing di Kubu Kopi, Denpasar, Selasa (23/1).
Menurutnya penting mendapat kepastian agar proyek tersebut tidak molor dari tengat waktu yang telah ditentukan. Diakui pihaknya telah beberapa kali mengadakan dialog dengan berbagai pihak yang berkepentingan, namun sayangnya kerap pula mendapat penolakan. “Kita perlu arahan, perlu petunjuk kemana kita harus melangkah. Kalau ini ndak boleh, lantas bolehnya seperti apa,” katanya berharap masukan dari berbagai pihak, namun alasan itu mesti diperkuat dengan data.
Astawa juga mengharapkan adanya komunikasi dua arah agar persoalannya jadi terang benderang. “Kita akan siapkan data apa yang mereka inginkan, kita tidak memaksakan,” tandasnya sembari berkata pihaknya siap membeberkan dasar PLN membangun proyek itu. “Kalau dianggap proyek itu tidak bisa atau melanggar, itu disebabkan karena apa,” imbuhnya. Ia juga berasumsi jika dianggap tower tersebut terlalu tinggi, apakah bisa diturunkan tapi dengan catatan biaya akan membengkak. Lantas ia mengingatkan proyek PLN ini bukan hanya membangun tower saja, tapi membangun transmisi 500 KV dari Paiton, Jawa Timur sampai Antosari, Buleleng.
“Jadi yang ditolak itu dimana,” katanya bertanya dan ini yang perlu dijelaskan. Ia menampik jika proyek JBC terkesn dipaksakan karena listrik dari Paiton mengalami surplus lantas untuk membuangnya, Bali dijadikan tempat penampungan melalui JBC. “Pastinya listrik Paiton alami surplus, tapi harus diingat pula pembangunan instalasi di Jawa jauh lebih murah dibandingkan di Bali. Dari sisi keandalan dengan membangun 500 KV maka kelistrikan Bali semakin andal, karena dipegang dengan 500 KV,” ucap Astawa yang menambahkan dengan adanya 500 KV memungkinkan adanya pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) di pulau Bali.
Sedangkan dari tempat yang sama General Manajer PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur dan Bali I, Djarot HUTABRI, EBS yang juga hadir dalam diskusi kali ini menyatakan, sosialisasi JBC kerap dilakukan pihaknya dan masyarakat sudah mengetahui hal itu. Baginya pembangunan JBC sangat menarik, pasalnya akan berimplikasi pada kemajuan di masyarakat. “Kami tengah mencari mekanisme agar JBC bisa terlaksana, masyarakat pun nyaman,” kata Djarot.
Dijelaskan pula dari segi kontruksi pembangunan JBC senilai USD 400 juta sebenarnya aman, apalagi kajian juga dilakukan oleh konsultan asing dan dibiayai oleh ASEAN Development Bank (ADB) juga Asia Infrastructure Found (AIF). “Alasan dibangunnya JBC sebenarnya waktu dan biaya lebih efisien dibandingkan dengan metode metode lainnya,” ungkapnya. Ia pun berharap segera diputuskan metode apa yang akan digunakan, mengingat tengat waktu pengerjaan dan biaya yang dikeluarkan.
Sejalan apa yang disampaikan Astawa dan Djarot, salah seorang Pengamat Energi dan Kelistrikan, Febby Tumiwa yang hadir dalam kegiatan ini mempertegas posisi PLN dalam proyek JBC ialah PLN menjamin kelangsungan pasokan listrik di Bali, menjaga keandalan listrik, memberikan akses listrik bagi masyarakat yang belum teraliri, mengupayakan tarif listrik terjangkau.
“Persepsi muncul jika Bali kelak sampai black out tentu akan menjadi rumor yang tidak mengenakkan, apalagi Bali sebagai daerah tujuan wisata. Untuk keandalan listrik maka tidak ada kata lain selain membawa pasokan listrik dari Paiton yang harganya lebih murah 6 sen ke Bali,” tandasnya yang juga menjelaskan proyek JBC ini namanya menurut Febi lebih dikenal sebagai proyek 500 KV Jawa -Bali Power Crossing Transmission. Transmisi mesti dibangun agar penambahan listrik di Bali bisa terpenuhi di tahun 2020.
“Kenapa proyek ini dijalankan karena dianggap cost efektif,” tambahnya. Lantas, teknologi crossing bukan hal yang baru bahkan sudah ada sejak tahun enam puluhan. Kalau ini yang dipersoalkan bisa saja dipindah, kalaupun digeser sesuai permintaan jarak yang ditempuh biaya akan lebih besar. “Alternatif pembangunan bisa dicari tapi yang penting pasokan listrik Bali tercukupi,” tutupnya.