Mengobarkan Nasionalisme di Tengah Resesi | Bali Tribune
Diposting : 16 August 2020 19:31
Putu Suasta - Bali Tribune
Bali Tribune / Putu Suasta - Alumnus Fisipol UGM dan Universitas Cornell

balitribune.co.id | DI TENGAH pandemi, dunia juga dihantui resesi. Padahal Covid-19 saat ini masih menjadi momok yang mengerikan bagi warga dunia. Kini selain urusan virus corona,masalah resesi di dunia hampir sama celakanya dengan Covid-19. Bahkan di pertengahn tahun ini sudah ada sejumlah negara yang terbenam dalam jurang resesi akibat Covid-19. Resesi ekonomi ini, tak pelak, adalah dampak langsung dari Covid-19, virus corona yang merebak sejak Desember 2019 lalu di Wuhan, China.

Sejumlah negara nampak telah jatuh ke jurang resesi hingga akhir memasuki kuartal II di tahun 2020 ini. Negara-negara tersebut, di antaranya adalah: Jerman (-11,7%), Prancis (-5,7%), Uni Eropa (-11,9%), Hongkong (9%), Singapura (12,6%), Filipina (16,5%) dan Mexico (18,9%). Beberapa pengamat ekonomi memperkirakan beberapa negara ASEAN yang lain bisa jadi menyusul Filipina terperosok ke jurang resesi. Kemungkinan itu diperkirakan terjadi pada negara Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Khususnya Indonesia, beberapa tokoh menduga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 diproyeksikan akan tumbuh negatif. “Indonesia masih turun -5,32%, diharapkan kuartal III 2020 bisa membaik dengan prediksi -2%, -1% atau bahkan diharapkan bisa masuk positif,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat ia menjadi pembicara saat peluncuran CAC Anti Korupsi Indonesia secara virtual, Selasa, 11 Agustus 2020 (CNBC Indonesia).

Menurut beberapa ahli ekonomi, suatu negara disebut masuk ke dalam resesi ekonomi bila dalam dua kuartal berturut-turut di tahun yang sama pertumbuhan ekonominya minus. Rizal Ramli bahkan mengatakan negara kita sudah masuk ke dalam resesi ekonomi. Menurut pakar ekonomi ini, resesi itu definisinya pertumbuhan negatif. “Kuartal ini kita negatif, kuartal depan (kuartal ketiga di tahun 2020) juga bakal negatif,” kata Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur ini.

Rizal Ramli dengan tegas meyakinkan bahwa kita ini sudah ada di dalam resesi. Ketiadaan daya beli, tingkat pengangguran naik, krisis kesehatan, adalah contoh-contoh nyata yang tak bisa dihindari faktanya bahwa kita berada di tengah suasana resesi. Hal diungkapkannya dalam suatu diskusi virtual seperti diberitakan detik.com 16 Juli lalu. Kenyatan situasi buruk ini juga dibenarkan oleh Faisal Basri, ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) dan UI ini.

“Kalau resesi sudah deh sudah hampir pasti,” katanya sebagaimana diberitakan CNN 27 Juli lalu. “Jadi yang penting adalah recovery-nya, bukan diskusi tentang kita mengalami resesi  atau tidak. Bagaimana resesi ini menjadi cetek, tidak dalam!” tegasnya. Sebagaimana yang ia katakan kepada kompas.com, Indonesia diperkirakan sulit keluar dari jurang resesi jika melihat kondisi ekonomi saat seperti sekarang.

Faisal Basri lebih jauh mengatakan, krisis kali ini akan berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, maka formula baku tidak memadai untuk mengatasinya. Ia menambahkan bahwa semua negara juga melakukan penanganan yang sama mulai dari melakukan pelebaran defisit hingga paket stimulus serta menurunkan suku bunga. Karena itu ia mengharapkan agar kita semua harus berani menerima dan menghadapi kondisi terburuk ini.

“Mengingat kondisi sekarang berbeda, resep baku tidak cukup,” kata Faisal Basri. “Ada dimensi yang harus dikedepankan yakni kesehatan masyarakat dan penyelamatan jiwa manusia. Tidak boleh ada trade off antara ekonomi dan kesehatan,” tegasnya. maka, menurutnya lagi, kunci utama penanganan dan pemulihan ekonomi adalah penanganan meluasnya virus corona. “Oleh karena itu, jangan terlalu dipaksakan. Turis bisa jadi ujung tombak recovery dalam waktu dekat. Kuncinya kita mampu menangani virus sehingga semakin banyak bersedia tandatangani travel bubble,” ungkap Faisal Basri (compas.com, 29 Juli 2020).

Kesehatan dan Kebertahanan Hidup

Di berbagai media para ahli ekonomi kita dan dunia telah memaparkan realitas kehidupan umat manusia di tengah kepungan pandemi corona dan upaya bertahan hidup (survival). Sementara kita membaca analisis mereka, kita di lapangan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana situasi realitas yang sesungguhnya. Hingga artikel ini ditulis, lingkungan terdekat (tempat tinggal, kota, antarkota dalam suatu provinsi) memperlihatkan kelengangan, ketiadaan gemuruh kerja sebelum pandemi Covid-19, orang-orang mencoba bertahan hidup dengan berjualan apa saja yang bisa dijual di pinggir jalan, sedikitnya gerak kehidupan di pusat-pusat perkantoran, pusat perbelanjaan, lengangnya ruang-ruang publik.

Rasanya tak perlu melihat ke seluruh dunia untuk memahami kondisi krisis ini. Pada saat resesi ‘mewabah’ ke seluruh dunia, apa yang terjadi di sekitar kita adalah ‘sebentuk gambaran bersama’ yang kurang-lebih terjadi pula pada negara-negara yang mengalami kondisi yang sama, bahkan barangkali juga lebih miris dari yang kita duga, terutama yang ekonominya berada pada angka minus yang tinggi. Karena sesungguhnya kita tidak sendirian merasai kondisi terpuruk ini.

Gambaran kondisi terpuruk itu sebetulnya telah mulai kita rasai bersama di negeri ini manakala Indonesia memasuki kuartal pertama dan di awal Maret 2020 lalu bersamaan pula kita mulai dirambah virus corona (Covid-19). Menjadi ‘mencekam’ ketika memasuki bulan-bulan berikutnya. Gaung lock down berdengung di mana-mana, PHK terjadi di mana-mana, kelaparan terjadi di mana-mana, dunia pariwisata mati sama sekali, pemerintah pusat dan daerah sungguh-sungguh kelimpungan mengatasi hal ini. Bersamaan dengan itu, mereka yang terpapar Covid-19 juga makin membengkak di mana-mana di seluruh negeri ini. Berdasrkan laporan yang dirilis kompas.com, total kasus Covid-19 sudah mencapai 128.776 kasus di Indonesia.

Ditengah kepungan dua momok mengerikan ini (resesi ekonomi dan Covid-19), pemerintah pun telah menggelontorkan dana yang sangat besar untuk mengatasi Covid-19 ini dan bagaimana kemudian memulihkan daya belanja masyarakat agar dunia perekonomian di negeri ini kembali menggeliat. Lihatlah misalnya, sepanjang 2020, total anggaran pemerintah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 2.700 triliun. Sampai Juni lalu, pemerintah sudah membelanjakan kurang lebih Rp 1.000 triliun. Masih ada sisa kurang lebih Rp 1.700 triliun yang harus dibelanjakan pada kuartal III dan kuartal IV. Oleh karena itu, menurut Airlangga, kita harus memdorong belanja pemerintah atau spending masyarakat diberi rasa nyaman dan aman agar spending bisa berjalan.

Namun meskipun pada kuartal III banyak yang memprediksi pertumbuhan ekonomi kita masih berada pada level minus, hal tersebut tak membuat Kepala Negara kita pesimis. “Tapi kita tak boleh menyerah, kita harus berupaya agar di kuartal III kita bangkit, kita bisa rebound sehingga tidak jatuh ke jurang resesi,” kata Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pidato kunci dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra yang digelar di Hambalang, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia, 12 Agustus 2020).

Optimisme Presiden RI adalah inspirasi sekaligus juga mengingatkan kita pada semangat gotong-royong di awal-awal pandemi ini muncul. Ketika Covid-19 begitu mencekam memperlihatkan keganasannya sejak pertengahn Maret hingga hari ini, kita di lapangan saling bahu-membahu membantu satu sama lain; menyediakan nasi bungkus untuk makan siang/malam, menyediakan sembako gratis, penggalian dana untuk masyarakat yang kena PHK dan kegiatan kemanusiaan lainnya.

Dua kepungan yang dahsyat—pandemi dan resesi—saat ini bukan lagi berada di tingkat wacana, namun telah ada di sekitar kita. Pada mulanya masyarakat dibuat gemetar oleh Covid-19, dan ketika kita mulai bisa beradaptasi baru dengan corona, kini yang sama mengerikannya dengan corona, yaitu resesi ekonomi global, juga mulai mengancam orang-orang di sekitar kita. Apa yang dihadapi masyarakat luas terhadap dua bencana ini jauh lebih dahsyat daripada apa yang diwacanakan oleh para pakar/tokoh/pemangku kebijakan. Di sinilah kembali kita diuji untuk ditingkat paling dasar; tetap sehat dan tetap bisa bertahan hidup!

Nasionalisme

Bangsa ini, sejak pra-Pilpres 2019 hingga hari ini seperti tak berhenti diguncang bencana. Meski secara empirik bangsa ini masih sanggup meloloskan diri dari berbagai bencana, baik bencana alam maupun buatan bangsa sendiri, namun bagaimanapun tetap saja merisaukan, terutama bencana yang dihadapi hari ini. Sikap nasionalisme Presiden Jokowi yang diekspresikan lewat ucapan maupun tindakan adalah bagus menjadi penyemangat dan teladan, namun bagaimana kekhawatiran masyarakat masih terlihat di wajah mereka.

Musibah karena wabah dan berdampak pula pada hal lain yang menimpa suatu bangsa, pada akhirnya memang tak bisa lain adalah membutuhkan terbangunnya kesadaran nasionalistik bangsa yang bersangkutan. Presiden dengan sikap optimistiknya beberapa kali mengungkapkan di berbagai kesempatan bahwa kita bangsa besar. Baginya, kebesaran kita sebagai bangsa adalah aset moral yang luar biasa dahsyat ketika hal itu menyatu dalam mencapai tujuan yanf didambakan bangsa ini.

Dalam konteks yang paling dekat saat ini, yakni kepungan resesi dan pandemi, di mana dua hal yang mengerikan itu menimpa bangsa ini, maka, sebagaimana optimisme Presiden Jokowi, bangsa Indonesia tinggal bangkit dan bersatu, meresapi kekayaan watak bangsa yakni gotong-royong, rasa kebersamaan sebagai bangsa yang ditimpa musibah, keyakinan pada pengalaman sejarah yang penuh dengan keberanian berjuang, adalah modal moral dan mental bagi bangsa ini untuk dapat keluar dari berbagai bencana.

Jokowi meyakini, Indonesia dengan jumlah penduduk 260 juta orang, bisa membawa kepada peningkatan konsumsi domestik yang akan berhasil mengeluarkan Indonesia dari jurang resesi. “Jumlah penduduk 260 juta adalah kekuatan besar,” ungkap Jokowi. “Jumlah usia produktif adalah kekuatn produktif negara kita, kita lihat saja. Dan yang terpenting kita tak boleh menyerah,” tambahnya.

Nasionalisme adalah jalan satu-satunya ketika suatu masalah besar menimpa bangsa ini. Berdasarkan pengalaman, berbagai bencana besar telah dilalui dan dalam beberapa hal, korban jiwa juga tak bisa dielakkan. Belajar dari masa lalu, apakah kita sanggup membangun nasionalisme itu dengan semangat kekinian, inilah persoalannya. Karena selain dua kepungan bencana yang mengerikan  itu, kita juga ‘ditumpangi’ berbagai konflik dan intrik politik yang sublimatik, mengemukanya politik identitas yang jika tak bijak disikapi berpeluang menimbulkan kobaran konflik besar.

Karena sebagai bangsa, kita sendiri tak luput pula dari persoalan tentang kadar nasionalisme kita sendiri. Sebagai bangsa, kebangsaan kita tak kurang pula digempur oleh berbagai hal. Derasnya gempuran kebudayaan asing, sebagai contoh, yang difasilitasi berbagai media seperti internet, pergaulan global, dengan bebasnya hadir di tengah kita dan berpotensi mempengaruhi kebudayaan lokal. Juga, bermunculan ideologi-ideologi yang berseberangan makin memungkinkan ‘terganggunya’ rasa kebangsaan kita.

Hasil survei LSI Denny JA sebagaimana dilansir kompas.con, patut direnungkan. Survei itu menunjukkan bahwa sejak 2005-2018 jumlah warga yang pro-Pancasila semakin berkurang setidak-tidaknya 10%. Di level pendidikan formal, khususnya kelompok muda, jumlah pro-Pancasila juga menurun (kompas.com, “Pentingnya Nasionalisme di Era Indonesia Modern”, 15 November 2019). Namun kemudian hasil survei LSI 2019 cukup memberikan sedikit angin segar karena jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, nasionalisme masyarakat mengalami kenaikan.

Disebutkan, sebesar 66,4 persen warga yang masih mengindetifikasikan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia, 19,1 persen warga mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari suku tertentu. Meskipun hasil survei menunjukkan perkembangan nasionalisme cukup positif pada 2019, kita tidak boleh lupa bahwa 33,6 persen warga yang tidak mengutamakan nasionalisme bukanlah angka yang kecil  dan artinya nasionalisme masih berada dalam tantangan (kompas.com, “Pentingnya Nasionalisme di Era Indonesia Modern”, 15 November 2019).

Lepas dari gambaran hasil survei LSI tersebut, yang pasti bahwa bencana yang dihadapi bersama secara nasional sangat berpeluang membangun kembali ruang-ruang kesadaran nasionalisme, suatu momentum empirik yang menyentuh kemanusiaan kita sebagai bangsa dan dengan sendirinya pula menyentuh rasa keterpanggilan sebagai sebuah bangsa. Inilah yang sangat diharapkan terjadi saat ini di masa kepungan dua bencana bersekala global; resesi dan pandemi! (PS/12082020)