BALI TRIBUNE - Ratusan warga yang terdata menderita gangguan jiwa di Karangasem, merupakan potret buram peliknya permasalahan ekonomi dan sosial serta akses kesehatan di Bumi Lahar yang sampai saat ini seolah diabaikan. Nyaris tidak ada perhatian berarti dari Pemprov Bali maupun Pemkab Karangasem. Padahal jika tidak ditangani dengan serius, angka penderita gangguan jiwa di Karangasem terus bertambah.
Dari penelusuran Suryani Institute bersama sejumlah awak media, Selasa (4/7), ditemukan dua orang penderita gangguan jiwa yang dipasung dengan kondisi menyedihkan. Mereka berdua kakak beradik, yakni I Nengah Simpen (30) dan I Nyoman Ada (28) warga asal Dusun Yeh Kori, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem.
Dari kedua bersaudara gila itu, kondisi yang paling memilukan dialami I Nyoman Ada. Selama bertahun-tahun pria yang hanya lulusan SD ini harus makan-minum bersama anjing, buang air besar dan tidur di atas sampah makanan dan kotorannya sendiri dalam sebuah rumah berukuran 3 x 3 yang merupakan bantuan bedah rumah tanpa pintu dan WC dari Pemprov Bali. Namun beruntung masih ada ayahnya I Ketut Rugeg yang kondisi kejiwaannya juga mulai terganggu karena bertahun-tahun mengurusi kedua putranya yang mengalami gangguan jiwa itu.
Berbeda dengan Komang Ada, kondisi kakaknya Nengah Simpen jauh lebih baik kendati tidak kalah menyedihkan dengan Komang Ada. Melihat kedatangan awak media dan Prof LK Suryani bersama anggotanya dari Suryani Isntitute, Nengah Simpen nyaris tidak ada respons. Pria yang juga lulusan SD dan sudah puluhan tahun mengalami gangguan jiwa ini lebih banyak menunduk dan memainkan tangannya dengan merobek-robek kertas dan plastik yang ada di tangannya. Tidak seperti adiknya yang sama sekali tidak mau mengenakan sehelai benang di badannya, Nengah Simpen masih mau mengenakan pakaian meski hampir sebagian robek dan kotor lebih buruk dari lap pel.
“Saya tidak menyangka di Bali orang gila diperlakukan seperti ini, ini sangat tidak manusiawi,” seloroh Mariam, dalam bahasa Inggris, seorang perawat penderita gangguan jiwa asal Negeri Kincir Angin, Belanda, yang ikut dalam rombongan Suryani Institute.
Menurut dia menangani penderita gangguan jiwa dengan cara seperti ini tidak akan membuat si penderita gangguan jiwa itu sembuh atau membaik kondisi kejiwaannya. Sebenarnya pemerintah bisa memulai pola Community Base untuk mengobati penderita gangguan jiwa, disamping memberikan obat juga perkembangan kejiwaannya harus dipantau selama si penderita dirawat di rumah, termasuk melatih mereka bersosialiasi dan berinteraksi dengan sosial dan lingkungan.
“Ini tidak hanya cukup dengan obat saja, sebab Anda (dokter,red) harus datang untuk melihat kondisi mereka (penderita gangguan jiwa di rumah mereka,red) mulai dari minggu pertama,” usulnya.
Menurut dia, pola penanganan Community Base yang dijalankan oleh Suryani Institute sangat bagus, dan pola ini juga diterapkan di Belanda dan sejumlah negara lainnya.
Penanganan dengan pola Hospital Base menurutnya kurang bagus karena penderita gangguan jiwa harus tinggal lama di rumah sakit dan tidak sedikit biaya yang juga harus dikeluarkan pihak keluarga.
Sementara itu, Prof LK Suryani menyebutkan, jumlah penderita gangguan jiwa di Karangasem yang terdata sebanyak 890 orang, sementara yang tidak terdata jumlahnya masih cukup banyak. “Kita datang ke sini untuk tau situasi. Sebab selama ini orang kan taunya rumah sakit jiwa. Dokter, perawat, dan pemerintah tidak pernah tau apa yang sebenarnya terjadi,” lontarnya.
Terkait kakak beradik yang mengalami gangguan jiwa ini, mereka sebanrnya sudah beberapa kali dibawa ke RSJ Bangli bahkan sampai 7 kali. Nah, ketika mereka balik dari RSJ tidak ada yang merawat dan tidak ada yang melanjutkan pengobatannya.
“Sementara mereka bilang sudah dikasih obat, sedangkan obat saja tidak cukup. Sebab harus kita didik keluarga, pasien dan lingkungan untuk bisa mempertahankan sehingga kesembuhan pasien gangguan jiwa itu akan kita peroleh,” ulasnya.
Kalau tidak, maka akan terus seperti ini dan penderita gangguan jiwa di Karangasem dan Bali akan terus bertambah. Jadi tindakan tidak hanya menterapi tetapi juga tindakan mencegah terjadinya penderita gangguan jiwa baru, sebab keluarga atau saudara si penderita gangguan jiwa jika tidak ditangani dengan baik kecenderungan besar akan ikut mengalami gangguan jiwa.
Selama ini pihaknya mengaku sudah berusaha untuk berkoordinasi dengan pihak Dinas Kesehatan Provinsi, “Bahkan saya dijanjikan mau ketemu, tapi sampai hari ini tidak pernah ada. Pak Mangku Pastika juga sudah dua periode menjadi gubernur juga belum bisa ketemu,” bebernya.
Sementara dengan Dinas Kesehatan Karangasem, pihaknya rencananya akan diberikan kesempatan untuk menangani penderita gangguan jiwa di seluruh Karangasem, tapi ternyata RSJ Bangli masuk sehingga wilayah penanganannya dibagi.
Jadi sejak tahun 2007 pihaknya hanya menangani penderita gangguan jiwa di wilayah Kecamatan Manggis, Sidemen, Abang dan Kecamatan Rendang hingga sekarang. Dan dari penelitian yang dilakukan, 48 persen pasien gangguan jiwa bisa sembuh tanpa obat sementara sisanya masih menggunakan obat. “Dan di antara mereka pasti ada yang kambuh, tapi kambuhnya tidak seperti dulu tapi menurun bisa setahun baru kambuh, tapi begitu akan kambuh segera kita berikan penanganan dengan suntik atau lainnya,” ulasnya.