BALI TRIBUNE - Tidak seperti teman sekelasnya bebas beraktivitas, Ni Wayan Santi Ariani (14), siswi yang masih duduk di bangku kelas III SMPN 3 Bangli asal banjar Guliang Kawan, Bunutin, Bangli harus rela berdiam diri di kelas.
Hal ini karena pascamengalami tabrak lari saat dibonceng orangtuanya empat tahun silam, hingga kini kondisi kaki kanannya yang patah tulang belum juga sembuh.
Dalam kejadian empat tahun silam itu, ayahnya I Nengah Sarma mengalami patah pada bagian pinggul, sementara ibunya Ni Ketut Suci meninggal dunia.
Di tengah kondisi yang serba sulit, dimana ayahnya tidak bisa bekerja, Ariani sepatutnya harus menjalani operasi lanjutan. Namun karena terbentur biaya, penanganan medis lanjutan itu hingga kini belum bisa dilakukan.
Saat disambangi di rumahnya, Jumat (14/7), nampak Ariani berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan alat bantu tongkat. “Untuk antar jemput sekolah saya yang mengantar, begitupula memapah saat naik tangga menuju kamar,” ujar Nengah sarma.
Nengah Sarma juga mengatakan, penderitaan yang dialami Ariani bermula dari tabrak lari yang dialaminya empat tahun silam, sekitar bulan Juli tahun 2013 di wilayah hukum Polres Gianyar. Saat itu, dirinya yang baru pulang dari menjenguk cucunya di Gianyar, sedang membonceng istri dan anak bungsunya itu.
Di tengah perjalanan, tepatnya di perempatan Kota Gianyar, tiba-tiba sebuah mobil Honda Jazz warna hitam tanpa menghidupkan lampu datang dari arah berlawanan. “Motor saya kena senggol mobil itu, yang menyebabkan istri dan anak saya jatuh,” jelasnya.
Sementara dirinya mengalami patah tulang pada pinggul kanannya. Setelah menyenggol, lanjut Sarma, mobil Jazz tersebut bukannya berhenti, malah memilih kabur.
“Akhirnya dibantu warga kami bertiga dibawa menuju RSUD Gianyar, setelah menjalani perawatan, istri saya meninggal,” sebutnya sambil mengusap air matanya yang meleleh seraya menambahkan sementara anaknya sempat menjalani perawatan di RSU Sanglah, hingga delapan kali operasi. Namun karena terbentur biaya, Sarma tidak bisa meneruskan pengobatannya hingga sembuh.
Semestinya, kata dia, operasi lanjutan untuk membuka pen pada kaki anaknya, dilakukan setahun silam. Namun setelah melakukan koordinasi dengan dokter yang merawatnya, saat itu pihaknya diminta menyiapkan biaya operasi sebesar Rp15 juta. “Saya benar-benar tidak punya biaya. Sampai kini saya juga belum bisa bekerja, karena patah tulang yang juga saya alami,” ujarnya.
Oleh karena itu, pengobatan dan perawatan anaknya terpaksa dilakukan seadanya di rumahnya. Dampaknya, bekas luka dan patah tulang pada kaki kanan Ariani, hingga kini tak kunjung sembuh. Sebaliknya, bekas operasinya justru kerap berair karena diduga infeksi.
Meski demikian, semangat Ariani untuk melanjutkan sekolah masih sangat tinggi. “Walaupun masih sakit, saya ingin bisa menuntaskan sekolah saya. Untuk ke sekolah saya diantar jemput oleh bapak,” ujar Ariani. Dia pun berharap ada pihak yang peduli dengan kondisi yang dialaminya, dengan harapan bisa cepat sembuh.