Denpasar, Bali Tribune
Dalam menyokong tol laut yang digaungkan Presiden Jokowi untuk membuka jalur distribusi bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa kendala yang mesti dihadapi, antaranya armada atau pengangkut. “Untuk ada konektivitas harus ada kapal yang mampu mengangkut logistik secara rutin dengan muatan yang memadai. Jangan sampai ada angkutan, tapi muatan tidak memadai, ini akan jadi persoalan,” ujar Vice President Corporate PT Pelindo III, Edy Priyanto di sela acara sosialisasi lomba karya tulis jurnalis Pelindo III Tahun 2016, belum lama ini.
Ia juga ungkapkan, antara pelabuhan satu dan lainnya memiliki produktivitas yang sama, dan untuk itu mesti memiliki peralatan yang sama. “Dalam menyamakan produktivitas, mesti memiliki peralatan yang memadai dalam menunjang proses bongkar muat di pelabuhan,” jelasnya. Di samping itu juga Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) juga mesti memiliki kinerja yang sama, namun persoalannya biaya bongkar muat yang beda yang jadi tantangan pihaknya. “Ketika Pelindo III telah meningkatkan kinerjanya, perlu didukung oleh otoritas pelabuhan, Syahbandar, TKBM, dan yang paling penting dukungan dari pemerintah daerah,” katanya.
Ia menjelaskan, keberadaan pelabuhan dikota besar sangatlah penting, pasalnya dimana kota itu besar dan berkembang, pelabuhannyapun harus besar. Tidak ada namanya kota besar, tapi pelabuhannya kecil apalagi tidak berkembang. “Seperti yang diketahui hampir 80 persen negara kita dikelilingi laut dan kepulauan, kita harus ciptakan pelabuhan pelabuhan besar untuk jalur konektivitas distribusi logistik, termasuk pelabuhan besar di kota kota besar, masalahnya masa depan kita di maritim, “ ujarnya.
Ada lima pelabuhan yang menurut Edy dikembangkan masuk dalam program tol laut. Yang pertama yaitu, pelabuhan Tanjung Mas (Semarang) Tanjung Perak (Surabaya) Banjarmasin, Sampit, dan yang kelima Pelabuhan Tenau (Kupang). “Kelima pelabuhan ini yang saat ini tengah dikembangkan dalam program tol laut, secara kesiapan, mereka sudah siap,” imbuhnya. Di samping kelima pelabuhan itu, pihaknya juga mengembangkan Benoa, Lembar, dan Celukan Bawang. “Ketiga pelabuhan itupun kami kembangkan, karena apa, kita ingin wujudkan konektivitas, tidak bisa kita hanya bicara dua puluh empat pelabuhan, tanpa adanya konektivitas,” jelasnya.
Apalagi Celukan Bawang, pelabuhan ini katanya punya peran sebagai pengganti dari Benoa, alasannya Benoa hanya untuk pelabuhan wisata saja atau dengan kata lain bisa digunakan sebagai bongkar muat untuk barang barang yang bersih. “Sedangkan Celukan Bawang digunakan untuk bongkar muat barang barang yang”kotor” seperti semen, cargo, dan lainnya,” katanya. Ia jberharap Bali bisa menjadi pelabuhan “Cruise”, jadi penumpang naik dan turun dari Bali, otomatis jumlah kunjungan wisatawan akan meningkat.
“Jangan sampai sekarang ini, wisatawan naik dan turun dari Singapura, dan Benoa perlu dukungan semua pihak, termasuk pemerintah daerah,” tandasnya. Sedangkan dana yang disiapkan untuk mewujudkan tol laut itu sendiri sekitar Rp 5,1 triliun sepanjang tahun 2016. “Namun sayangnya, kita untuk di Benoa ini masih ada keterbatasan, dan tentunya dengan adanya dana yang disiapkan Pelindo kita harapkan dukungan pemerintah daerah terkait dengan realisasi Rencana Induk Pelabuhan (RIP), saya kira untuk dana kita ndak ada masalah,” katanya.
Kembali ia tegaskan, bila sampai akhir tahun ini tidak ada realisasi RIP, maka pihaknya akan memindahkan rencana itu ke pelabuhan lain yang telah siap. “Ketika persoalan RIP ini jelas, kita langsung tancap gas. Apalagi ini untuk kepentingan bersama sama, bukan untuk kepentingan Pelindo sebenarnya,” jelasnya. Edy mengakui, pihaknya telah melirik beberapa lokasi di Bali sebagai pengganti Benoa, apabila hingga akhir tahun ini tetap juga tidak ada realisasi atau kepastian. “Mau ndak mau kita harus cari alternatif daerah lain sebagai pengganti Benoa, kalau memang disini sudah tidak memungkinkan, dan kamipun sebenarnya meyayangkan hal itu,” lugasnya.