balitribune.co.id | Singaraja - Janji-janji pemerintah untuk menuntaskan konflik agraria didua tempat yang menjadi lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) jauh panggang dari api. Hingga kini dua kasus pertanahan untuk lahan eks HGU No 1 PT Margarana di Desa Pemuteran dan eks pengungsi Timor Timur (Timtim) di Desa Sumberklampok Kecamatan Gerokgak masih gabeng. Bahkan cara-cara yang ditempuh pemerintah menyelasaikan dua kasus pertanahan tersebut cenderung memantik konflik horizontal.
Untuk memastikan proses penyelesaian tidak keluar dari aturan, Tim Kerja Pengungsi Eks Timtim Asal Bali bersama Serikat Tani Suka Makmur Desa Pemuteran bersurat ke Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Dalam surat Tim Kerja Pengungsi Eks Timtim yang ditandatangi Ketua Tim Nengah Kisid dan Koordinator Wilayah Bali Konsorsium Pembaruan Agararia (KPA), Ni Made Indrawati menyatakan keberatan atas penerbitan sertifikat karena dianggap tidak sesuai dengan kehendak dan hasil musyawarah petani eks tim-tim.
Ketua Tim Kerja Pengungsi Eks Timtim Nengah Kisid mengatakan, pelepasan lahan pemukiman dan lahan pertanian sebaiknya dilakukan berbarengan. Karena saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI masih memproses sisa target pelepasan hutan seluas 128,98 hektar yang diperuntukan sebagai tanah pertanian di desa Sumberklampok. Sebelumnya telah dilepaskan lahan seluas 7,9 hektar untuk pemukiman.
Berdasarkan perkembangan terkini Pemerintah Provinsi Bali dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menentukan sepihak bahwa tanah yang sudah dilepaskan akan dilakukan penerbitan sertifikat tanah sebanyak 107 bidang.
“Penerbitan sertifikat tanah perumahan seluas 79,842 M2 tersebut tidak sesuai dengan kehendak dan hasil musyawarah petani eks tim-tim. Masyarakat menghendaki pensertifikatan dilakukan jika tanah perumahan dan tanah pertanian keduanya sudah dilepaskan dari kawasan hutan,” terang Kisid, Rabu (24/4).
Karena itu pihaknya bersurat ke Menteri AHY menyampaikan keberatan atas rencana pensertifikatan tanah perumahan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Pemerintah Provinsi Bali, sebab pemerintah belum melepaskan tanah untuk lahan pertanian.
“Ya, petani eks tim-tim keberatan atas proses tersebut jika penyelesaian tidak dilakukan secara komprehensif dengan mendengar suara hati masyarakat,” sambung Ni Made Indrawati.
Kisid menambahkan jika pemerintah serius ingin menyelesaikan konflik agraria eks pengungsi Timtim tidak dilakukan septong-sepotong.
"Jangan hanya lahan pemukiman, kami akan tunggu hingga lahan garapan diselesaikan. Itu penyelesaian secara tuntas," tegasnya.
Hal yang sama di lakukan petani di Desa Pemuteran, Gerokgak. Melalui Ketua Serikat Tani Suka Makmur (SPSM) M,Rasik menyampaikan keberatan dan penolakan terhadap kesepakatan Pembagian Lahan Eks. HGU PT Margarana di LPRA Desa Pemuteran.Dalam suratnya ia menyatakan menolak kesepakatan yang dilakukan oleh Ketua Tim 13 pada tanggal 4 September 2023 sebab dilakukan tanpa kesepakatan bersama antara Tim 13 dengan Serikat Petani Suka Makmur, dengan kata lain, I Bagus Rai Adita tidak berwenang mengatasnamakan petani dalam pertemuan tersebut.
“Kami menolak seluruh pembahasan dan kesepakatan pada pertemuan tersebut, sebab akan mengakibatkan konflik horizontal dan penggusuran di lapangan,” terang Rasik dibenarkan Ni Made Indrawati.
Ia juga menyatakan penolakannya atas klaim aset Pemerintah Provinsi Bali, sebab eks HGU sudah 34 tahun dikuasai petani dan tidak pernah ada penguasaan pemerintah daerah Provinsi Bali di atasnya.
”Kami menuntut redistribusi dan pengakuan hak atas tanah untuk Serikat Petani Suka Makmur dalam kerangka Reforma Agraria,” ujarnya.
Sebelumnya, Senin (4/9/2023)bersama Tim 13 Desa Pemuteran dan mantan Gubernur Bali Bali DR Ir I Wayan Koster, MM menandatangani kesepakatan pembagian lahan eks HGU No I PT Margarana Desa Pemuteran menjadi 50 : 50 untuk petani sisanya milik Pemprov Bali.Namun skema pembagian lahan oleh Tim 13 ditolak petani karena dinilai tidak proporsional.