BALI TRIBUNE - Di tengah sepinya animo masyarakat untuk menggunakan moda transportasi umum, kini ratusan angkutan umum dalam provinsi (AKDP) tidak bisa membayarkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)nya dan tidak bisa mengantongi izin lantaran terbentur usia kendaraan dan berdampak pada tertib administrasi kendaraan mereka di jalan.
Persoalan ini dikeluhkan oleh para sopir angkutan umum, pasalnya untuk tertib melaksanakan kewajibannya membayar pajak ke daerah saja kini mereka harus kesulitan. Belum lagi para pengemudi izusu dan bus mini ini mati-matian untuk menutupi operasioal kendaraan akibat kondisi penumpang yang semakin sepi.
Salah seorang pengemudi, I Komang Arnawa (50) asal Lingkungan Satria, Keluarahan Pendem, Jembrana ditemui bersama puluhan sopir AKDP lainnya di Terminal Penumpang Negara mengatakan mereka kesulitan mematuhi tertib administrasi kendaraan karena pemerintah kini memberlakukan pembatasan usia kendaraan bagi angkutan umum. “Penumpang sekarang semakin sepi, untuk mencari satu muatan saja kini harus antre berjam-jam, mau bayar pajak harus usia minimal kendaraan tidak lebih dari 25 tahun, karena samsat mati dan ijin tidak bisa diperbarui, kini harus bermasalah ketika ketemu operasi dijalan raya,” ungkap sopir izusu tersebut.
Begitupula yang diungkapkan I Putu Surya Dharma (50). sopir Izusu asal Lingkungan Pendem, Jembrana ini mengatakan untuk AKDP, Angkot dan Angdes yang kini beroprasi sudah tidak bisa lagi untuk mencari ijin operasional angkutan umum sesuai aturan dari pemerintah pusat. “Dalam aturan Permenhub 32 tahun 2016, ada 11 syarat yang telah direvisi dan harus dipenuhi bagi angkutan umum” sebut Pengurus DPC Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Jembrana ini.
Namun untuk untuk memperoleh izin penyenggaraan bagi kendaraan angkutan orang dalam trayek itu usia kendaraan maksimal 25 tahun dan 20 tahun untuk angkutan barang. Kalaupun sudah berbadan hukum tetapi kalau belum mengantongi ijin penyelenggara angkutan umum maka tidak bisa bajar pajak kendaraan ankutan reguler.
Diakuinya, kendaraan angkutan konvensional seperti bus bisa disamsat tanpa ijin penyelenggara, namun harus diubah menggunakan TNKB Hitam menjadi kendaraan pribadi yang nilai pajaknya 1 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB). ”Sopir sudah mau bayar 1 % namun kembali lagi pihak Samsat tidak mengizinkan karena tetap terbentur usia kendaraan walupun sudah memiliki badan hokum,” jelasnya.
Ia menyebut kewenangan ijin penyelenggara untuk AKDP dikeluarkan oleh pemerintah provinsi, berbeda dengan angkutan perkotaan (angkot) dan angkutan pedesaan (angdes) yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten (pemkab).
Menurutnya, ribuan sopir kini hanya bisa menggantungkan hidup mereka dari mengais rejeki dijalanan menggunakan kendaraan tua, sedangkan kondisi penumpang sanagt sepi, belum lagi ancaman kendaraan travel bodong dan AKAP yang ikut mencarui muatan dijalanan. Berbagai upaya telah dilakukan namun hingga kini belum ada kebijakan atau revisi terhadap regulasi yang diarsakan memberatkan para sopir tersebut.
Ketua DPC Organda Jembrana, I Made Sarka juga membenarkan persoalan yang dihadapi para sopir tersebut. Menurutnya para sopir AKDP telah melayangkan surat ke DPRD Provinsi Bali dan telah ngelurug ke Gedung DPRD Provinsi Bali pada pertengahan bulan lalu. Ia mengaku persoalan tersebut masih sedang diperjuangkan dan dibahas oleh Komisi III DPRD Provinsi Bali.