Berjibaku Hadapi Cuaca Ekstrem, Petani Kakao Jembrana Pertahankan Produksi | Bali Tribune
Bali Tribune, Kamis 28 November 2024
Diposting : 3 February 2018 16:31
Putu Agus Mahendra - Bali Tribune
produktifitas
Petani kakao Jembrana kini berusaha menjaga produktifitas dan kualitas buah kakao di tengah cuaca ekstrem yang rentan perkembangan hama dan penyakit.

BALI TRIBUNE - Cuaca ekstrem yang terjadi dengan pola penghujan yang tidak menentu dan curah hujan yang tinggi, kini membuat petani kakao di Jembrana berusaha keras mempertahanakan produksi kakao yang sudah berkualitas impor. Cuaca ekstrem yang menyebabkan air yang berlebihan dan meningkatnya kelembaban menyebabkan penyakit busuk buah. Bahkan penyakit busauk buah ini juga menyerang hapir semua jenis tanaman buah produktif termasuk durian, pala, mangga dan jeruk.

Sejumlah petani krama subak abian kini harus benar-benar bekerja keras untuk manggulangi agar peluang buah kakao tidak rusak disaat cuaca ekstreme yang berkepanjangan. Kelihan Subak Abian Danuh Sari, Banjar Yeh Mekecir, Desa Dangintukadaya, Jembrana, I Gusti Agung Putu Widana, ditemui Jumat (2/2) sore mengatakan semakin tinggi kelembaban maka ancaman serangan hama dan penyakit juga akan lebih tinggi karena hama penyakit lebih cepat berkembang.

Bahkan menyatakan dengan tingkat serangan hama yang belakangan ini semakin tinggi akibat cuaca buruk, para petani di subak abian penghasil kakao yang telah bersertifikasi juga tidak diperkenankan mempergunakan pestisida kimia, “bisa ditanggulangi dengan pestisida kimia, tapi petani kakao yang sertifikasi tidak diperkenankan sehingga memakai musuh alami seperti sidem (semut hitam), semangah (semut merah) dan kutu putih yang bisa membunuh hama” ungkapnya.

Kondisi cuaca ekstreme belakangan ini juga dikatakan sangat merugikan para petani baik dari segi waktu dan tenaga sebab untuk tetap mempertahankan produktifitas dan kualitas tanaman kakaku yang telah berkualitas export, petani harus bekerja lebih extra. “Upaya pencegahan kami lakukan pola PPSP, panen sering, pemupukan, sanitasi dan perawatan” paparnya. Ia mengakui sejumlah krama subak abian penghasil kakao merasakan dampak cuaca ekstrem.

Namun dengan berbagai upaya petani berusaha agar produktiftas tanaman kakao maupun kualitas biji kakao yang dihasilkan tidak menurun. Kendati demikian, diakuinya banyak krama subak yang kini mencoba melakukan peremajaan dengan merabas tanaman kakao yang tidak produktif baik karena umur tanaman tua maupun karena serangan penyakit. Idealnya menurutnya tinggi tanaman kakao maksimal 3 meter dan hanya bercabang tiga.

 Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana, I Komang Ariada mengatakan kendati pihaknya telah menerjunkan petugas kelapangan namun produktifitas tergangtung keaktifan krama subak itu sendiri, “jangankan meningkatkan produksi, bagaimana bisa mempertahankan produksi dan kualitas kalau tanaman kakaonya saja jarang dirawat” ungkapnya. Namun di tengah tingginya dampak cuaca yang ekstrem ini, produktifitas kakao Jembrana dikatakannya masih menjadi yang tertinggi di Bali.

“Produktivitas kakao kita mencapai 668 Kg per hektar atau mencapai 2.849,79 ton per tahunnya,” jelasnya. Bahkan harga kakao Jembrana menurutnya tertinggi di Indonesia yakni Rp 43 ribu per kg untuk kakao fermentasi. Menurutnya untuk mendapatkan sertifikasi biji kakao tersebut dikatakannya harus memenuhi 70 item kreteria yang setiap tahunnya diaudit sehingga petani harus mempertahanakan produktivitas dan kualitas kakao mereka.

Dari 147 subak abian di Jembrana, diakuinya saat ini yang baru bisa mengikuti sertifikasi hanya 41 subak dengan 13.040 orang petani. Pihaknya memastikan seluruh subak setelah memenuhi kreteria akan mendapatkan sertifikasi secaraq bertahap. Selain akan segera melaksanakan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) bagi petani kakao selama 4 bulan, pihaknya juga mengaku akan berkordinasi dengan PPL untuk pengendalian hama penyakit secara langsung apabila serangannya massif. “Penyakit busuk buah ini sifatnya alami dan insidentil serta tergantungpada iklim dan lokasinya, berbeda dengan penyakit mati muncuk (PSD) yang menular secara luas dari pohon kepohon yang lain,” tandasnya.