Kawasan Kumuh Mencapai 167 Hektar | Bali Tribune
Diposting : 2 June 2016 13:35
I Wayan Sudarsana - Bali Tribune
kumuh
Salah satu kawasan kumuh di Denpasar yang berlokasi di bantaran Tukad Badung, tepatnya di Kampung Jawa.

Denpasar, Bali Tribune

Pemerintah Kota (Denpasar) telah berkomitmen menjadikan ibukota provinsi Bali ini sebagai kota bersih dan sehat. Namun sayang, komitmen ini bakal sulit terwujud lantaran masih banyaknya kawasan kumuh yang tersebar di empat kecamatan di Denpasar. Bahkan hingga tahun 2015 luas kawasan kumuh di Denpasar mencapai 167 hektare.

Kabid Perumahan Dinas Tata Ruang dan Perumahan (DTRP) Kota Denpasar, Nyoman Suarjana menjelaskan, tahun 2012, berdasarkan SK Wali Kota Denpasar Nomor 88.45/509/HK/2012, jumlah kawasan kumuh di Kota Denpasar sebanyak 18 hektare. Dalam waktu tiga tahun, yakni tahun 2015, jumlahnya meningkat tajam yakni sebanyak 167 hektare. Peningkatan tersebut, kata Suarjana, juga berdasarkan hasil verifikasi dan identifikasi dari Pemerintah Pusat dan Provinsi.

Dikatakan Suarjana, dari 167 hektare jumlah kawasan kumuh di Denpasar, paling banyak terdapat di Kecamatan Denpasar Utara, yakni seluas 54 hektare. Selanjutnya disusul Kecamatan Denpasar Selatan seluas 50 hektare, Denpasar Barat 35 hektare, dan di Kecamatan Denpasar Timur sebanyak 27 hektare.

Menurut Suarjana, esensi kawasan kumuh itu antara lain rumah yang tidak layak huni, sehingga bisa menjadi sumber penyakit, dan tidak memiliki izin pembangunan atau (IMB). Dari 167 kawasan kumuh yang ada di Denpasar, kata Suarjana, paling banyak dihuni oleh pendatang, baik yang dari Bali, maupun luar Bali. “Paling banyak itu dari pendatang. Ya kalau sudah dari luar Denpasar itu pendatang kami sebut. Ada juga dari Karangasem, dari luar Bali,” ungkapnya.

Dikatakan Suarjana, penataan kawasan kumuh melalui program revitalisasi kantong-kantong kumuh oleh Kota Denpasar tidaklah mudah. Banyak kendala yang dihadapi di lapangan diantaranya, terkait sewa lahan atau sistem kontrak. "Dua hal ini masih menjadi batu sandungan,  karena masyarakat pendatang jika diperbaiki rumahnya status bukan hak milik," katanya.

Sementara terpisah, masih banyaknya jumlah titik daerah kumuh di Kota Denpasar menjadi perhatian serius anggota DPRD Denpasar, A.A Ngurah Widiada. Politisi Partai NasDem ini mensinyalir adanya kantong-kantong rumah kumuh di sejumlah daerah di Denpasar karena ada pembiaran aparat selama ini.

“Denpasar sebagai kota besar, memang wajar menjadi target warga luar mengadu nasib bekerja dan bertarung mencari nafkah, namun dampaknya sebagai kota metro memang memunculkan  masalah sosial yang cukup tinggi,” jelas Ngurah Widiada.

Pihaknya menegaskan kunci utama untuk menghilangkan ataupun meminimalisir adanya kawasan kumuh ini adalah komunikasi dan pengawasan. “Kota Denpasar adalah kota padat, besar maka harus melibatkan semua komponen, lembaga-lembaga desa mulai adat, lingkungan, lurah, kecamatan dan sebagainya harus sering turun ke lapangan dan mengawasi keberadaan kawasan yang dianggap kumuh itu,” tegasnya.

Lebih lanjut, tokoh Puri Peguyangan ini, mencontohkan adanya kawasan kumuh di daerah Ubung, dimana kawasan ini sudah sejak lama terdapat kawasan kumuh. Dikatakan Widiada, di kawasan ini pendatang tinggal tanpa ada pengawasan, mereka menyewa lahan lantas sembarangan membangun.

Bukan berarti pemilik lahan atau orang asli tidak boleh mengontrakan, kata dia, namun harusnya pembangunan itu harus ditata dan diawasi. “Berapa yang layak tinggal dalam satu bedeng, kalau toh ada yang mengontrakan lahan, satu kamar layaknya 2 orang, terkadang ditempati lebih dari empat orang, ini kerap terjadi. Dan dibiarkan oleh pemerintah, untuk itu diharapkan agar ke depan jangan sampai ada pembiaran-pembiaran seperti ini,” tegas Widiada.