balitribune.co.id | “Doomsday atau Kiamat”, ini adalah kata yang tepat untuk kondisi pariwisata Bali pada saat ini. Semua pelaku pariwisata tiarap bahkan ada yang mati suri. Pandemi corona virus-19 telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat manusia seluruh dunia, termasuk tentunya industri pariwisata, yang bagi sebagian besar masyarakat Bali adalah sumber pendapatan utamanya. Industri pariwisata adalah multidimensional yang melibatkan hampir semua unsur/faktor dalam kehidupan manusia, seperti ekonomi, sosiologi dan psikologi. Pariwisata Bali sangat terpukul, sejak diumumkannya kasus covid-19 pertama kali di Indonesia oleh Presiden Jokowi tanggal 2 Maret 2020. Industri penerbangan, perhotelan, travel agent, dan turunannya berhenti beraktivitas seperti denyut nadi manusia yang berhenti atau mati.
Karena Bali sebagai barometer pariwisata Indonesia, pemerintah Indonesia dan khususnya pemerintah Daerah Bali berusaha membangun kembali pariwisata Bali Era Baru yang digadang-gadang akan dimulai pada tanggal 31 Juli 2020 untuk sektor wisatawan domestik, sedangkan untuk wisatawan mancanegara dijadwalkan tanggal 11 September 2020. Pariwisata Bali harus dibangun lagi, dipulihkan, untuk kepentingan pariwisata nasional, regional, dan internasional. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan jika pariwisata Bali tidak pulih dari pandemi covid-19, dampaknya melumpuhkan destinasi wisata lainnya di Indonesia. Daerah tujuan wisata lainnya di Indonesia sedang menunggu asa pada pariwisata Bali. Menurut Beliau, dua sektor yang memiliki daya ungkit dalam pemulihan ekonomi nasional pada masa pandemi adalah manufaktur dan pariwisata. Karena itu pariwisata Bali adalah prioritas, sebagai jantung pariwisata Indonesia yang berkontribusi sekitar 50% untuk sektor pariwisata tanah air, menghasilkan devisa hampir 10 miliar dolar AS dari total devisa 18 miliar dolar AS (Antaranews, 26 Juli 2020). Gubernur Bali Dr Ir I Wayan Koster sudah menegaskan bahwa dibukanya pariwisata Bali sudah melalui berbagai tahapan, telaah dan kajian dengan mengikuti protokol kesehatan. Walaupun beberapa elemen masyarakat menyatakan terlalu tergesa-gesa karena melihat statistik penyebaran transmisi lokal semakin massif khususnya di kodya Denpasar dan kabupaten Badung. Conflict of interest atau berbagai kepentingan pasti timbul pada situasi yang tidak menentu ini. Karena sektor pariwisata adalah jantungnya, denyut nadinya masyarakat Bali, perlu dipulihkan, atau dengan kata lain dilahirkan kembali (Re-inkarnasi) karena sudah mati suri, dengan mematuhi protokol kesehatan secara simultan, disiplin tinggi pada era Bali baru.
Pulau Bali tidak memiliki cukup sumber daya mineral, minyak, tambang dan sejenisnya, tapi diberkahi oleh sumber daya manusia yang bertalenta seni tinggi, alam yang indah, keramah tamahan orangnya, way of life masyarakatnya, terutama kebudayaannya. Sepertinya pulau Bali yang kecil ini beserta segala isinya adalah suatu berkah dari Sang Pencipta/ It’s given by the God. Bagi orang Bali, seni budaya adalah nafas hidupnya, ritual keagamaan, persembahan/sesajian tidak terlepas dari kehidupan keseharian masyarakatnya. Alam semesta adalah bagian dari kehidupan mereka, tidak terlepas juga bagaimana orang Bali mengucapkan puji syukur kepada Sang Pencipta melalui berbagai cara seperti menghaturkan sesajian setiap hari setelah selesai memasak, atau sesajian dengan sarana bunga/canang sari, membuat tempat persembahyangan pada setiap rumah, di setiap pedesaan atau territorial tertentu, bahkan pada tempat orang Bali mencari mata pencaharian mereka seperti pasar, sawah, ladang dan lainnya. Ini mencerminkan bahwa orang Bali bersyukur pada apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta untuk pulau ini.
Pulau Bali pun menjadi primadona, daya tarik wisata yang mampu mendatangkan banyak wisatawan baik nusantara maupun mancanegara, menghasilkan devisa bagi daerah Bali dan tentunya juga negara Indonesia, menciptakan banyak lapangan kerja yang akhirnya menampung jutaan masayarakat untuk terlibat dalam aktivitas kepariwisataan. Hal ini disebabkan oleh pulau Bali dan masyarakat Bali memiliki elemen budaya yang menjadi daya tarik wisatawan seperti 1) tradisi, 2) kerajinan, 3) sejarah, 4) arsitektur, 5) makanan khas/lokal/tradisisonal, 6) seni musik, 7) way of life, 8) agama, 9) bahasa, 10) pakaian lokal/tradisisonal (Shaw and Williams, 1997).
Dengan melihat mulai berkembangnya pariwisata Bali tahun 1920 - 1930an sampai sekarang, telah mengalami masa pertumbuhan, masa perkembangan, masa keemasan/golden age, masa sulit seperti perang teluk tahun 1991, krisis ekonomi tahun 1998, bom bali 1 dan 2 tahun 2002 dan 2005, juga beberapa masa pandemi seperti flu burung, sars tahun 2003, dan masa tersulit pandemi covid-19 tahun 2020 ini. Mungkinkah pariwisata Bali akan bangkit lagi, tumbuh dan berkembang (Lahir Kembali/Reinkarnasi) dan menjadi primadona utama pilihan wisatawan nusantara maupun mancanegara setelah pandemi covid-19 berlalu?
Menurut Butler (1980), yang dikutip oleh Cooper and Chris Jackson (1997), dalam pengembangan pariwisata yakni obyek wisata, daya tarik wisata pada umumnya mengikuti alur atau siklus hidup pariwisata atau tourism life cycle (Anom, 2005), dengan tahapan sebagai berikut:
- Exploration/Discovery; yaitu suatu tempat yang baru ditemukan,baik oleh wisatawan maupun pelaku pariwisata dan pemerintah. Tahap ini bagi pariwisata Bali dimulai tahun 1920/1930 – 1960an. Tahun 1920, pertama kali wisatawan Eropa berkunjung ke Bali, melalui kapal-kapal perdagangan Belanda yaitu KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang membawa sekitar 100 orang visitors/wisatawan. Tahun 1930- 1940, kembali kapal-kapal Belanda membawa wisatawan sekitar 250 orang per bulannya, selain melakukan perdagangan. Selanjutnya wisatawan-wisatawan yang pernah berkunjung ke Bali memiliki kesan-kesan yang sangat impressive/tidak terlupakan sampai mereka kembali ke negaranya. Wisatawan-wisatawan ini mempromosikan Bali khususnya secara personal atau dari mulut ke mulut/mouth to mouth, sehingga mengundang banyak wisatawan asing lainnya dan juga seniman-seniman asing yang tertarik untuk mengunjungi Bali, juga para peneliti, ahli antropologi, arkeologi. Dari sinilah Bali kemudian terkenal dengan nama Island of the God..Island of Paradise, Island of Thousands Temples dan lain lain. Selanjutnya sekitar tahun 1930-an, berdirinya hotel yang pertama di Bali/Denpasar, yaitu Bali Hotel, dan diikuti beberapa penginapan di Kintamani, Ubud, dan sekitarnya.
- Involvement; tahap suatu tempat/daya tarik wisata mulai diperkenalkan, di promosikan untuk meningkatkan kedatangan wisatawan, membangun/memperbaiki infrastruktur, dan suprastruktur atau sarana dan prasarana yang diperlukan untuk kenyamanan perjalanan wisata para wisatawan. Untuk tahap ini pariwisata Bali dimulai diperkirakan awal tahun 1960 yaitu dengan dibangunnya hotel Bali Beach tahun 1963-1966, sekarang bernama Grand Bali Beach Hotel, oleh Presiden Soekarno, merupakan satu-satunya hotel berlantai 9/10 di Bali. Tahun 1969, diresmikannya bandara Ngurah Rai sebagai bandara Internasional satu- satunya di Bali. Pada tahun 1969 juga , pemerintah Indonesia menyusun Repelita I, dan seterusnya kepariwisataan Bali dibangun lebih intensif, teratur dan terencana bahkan menjadi ikon Indonesia untuk menarik wisatawan ke Bali dan Indonesia.
- Development; daya Tarik wisata sudah dikenal, sudah berkembang pesat dan bahkan sudah menjadi primadona wisatawan, bahkan juga berimplikasi pada lingkungan karena over capacity atau wisatawan melebihi daya dukung masyarakat setempat/lokal, sehingga diperlukan suatu kontrol agar pariwisata ber multi guna bagi semua pihak yang terlibat. Bagi pariwisata Bali masa/tahap ini dikenal dengan masa perkembangan pariwisata budaya/masa pembangunan. Tahun 1980-an, masyarakat Bali yang mayoritas petani/agriculture mulai mengubah haluan nya ke industri pariwisata, dengan mengembangkan pariwisata yang berdasarkan pada budaya Bali yang di ilhami oleh agama Hindu. Berbagai hotel/akomodasi dibangun untuk mengakomodate wisatawan yang berkunjung ke Bali seperti Nusa Dua Resort, Tanjung Benoa dan sekitarnya. Tahun 1990-an, pariwisata Bali berkembang pesat dengan berpusat pada 3 resort yang ada di Bali selatan yaitu: Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Inilah masa keemasan pariwisata Bali atau golden age tourism of Bali. Kualitas wisatawan yang berkunjung, daya beli yang tinggi baik akomodasi maupun art/barang-barang seni, peningkatan jumlah kunjungan yang signifikan dengan pengeluaran dan lama tinggalnya wisatawan.
- Consolidation/Institutional; kawasan pariwisata dipenuhi oleh berbagai industri pariwisata seperti internasional chain hotel maupun restaurant, kafe yang memiliki jaringan internasional/franchises chains. Bagi pariwisata Bali tahapan ini mulai di akhir tahun 1990an/awal tahun 2000an dengan dibukanya program mass tourism atau pariwisata massal, yakni pariwisata yang bertujuan untuk mendatangkan wisatawan sebanyak mungkin tanpa melihat kualitas, daya beli maupun kriteria lainnya sehingga pariwisata Bali menjadi booming dan terjadilah pergeseran nilai terhadap pariwisata itu sendiri serta di dalam masyarakat Bali.
- Stagnation, pada tahapan ini kawasan wisata sudah dikunjungi wisatawan dalam jumlah yang tertinggi atau target wisatawan yang dicanangkan sudah tercapai, bahkan melebihi jumlah masayarakat setempat sehingga terjadi over capacity atau melebihi daya tampung dari kawasan tersebut. Hal ini menimbulkan permasalahan pada lingkungan alam dan sosial budaya masyarakat. Lihatlah kawasan Jatiluwih, walaupun berstatus sebagai warisan budaya dengan terassering sawah yang indah dan mempesona, terjadi pembangunan sarana pariwisata yang cukup masif seperti restaurant, kafe, homestay. Kawasan wisata tegallalang, yang terkenal juga dengan teras sawahnya mengalami degradasi lingkungan dan sosial budaya. Toko souvenir, restaurant, atraksi swing dan lainnya mengubah struktur tanah dan fungsinya.
- Decline and Rejuvenate, tahap kemunduran atau kawasan pariwisata mengalami masa-masa sulit, di akibatkan oleh faktor internal pariwisata itu sendiri seperti kebosanan, obyeknya itu-itu saja, tidak adanya diversifikasi obyek wisata, fasilitas penunjangnya tidak sesuai standar, bahkan juga karena admission atau kenaikan tiket masuk. Juga karena faktor eksternal seperti bencana alam, tragedi bom, pandemik sars, flu burung dan yang sekarang ini corona virus diseases-19/covid-19. Pariwisata Bali sudah mengalami tahap/masa seperti ini. Pada tahun 2002 Pariwisata Bali sempat runtuh oleh peristiwa Bom Bali I, 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 jiwa. Hanya dalam 10 hari setelah tragedi tersebut jumlah hunian hotel di Bali turun drastis hampir mencapai 99%. Banyak sektor lain yang menunjang pariwisata di Bali juga ikut terkena dampak sehingga menghancurkan perekonomian masyarakat Bali yang memang bergantung pada sektor pariwisata. Belum pulihnya perekonomian masyarakat Bali pasca bom Bali I, pulau Bali dikejutkan kembali dengan bom Bali II pada 1 Oktober 2005, Namun dampak penurunan perekonomian Bali yang ditimbulkan tidak seburuk peristiwa bom Bali I tahun 2002, meskipun angka penurunan kunjungan wisatawan mancanegara tetap dirasakan.
Seperti siklus hidup manusia yang dipercaya oleh orang Bali, termuat pada ajaran agama Hindu, yakni lahir/utpeti, hidup dan berkembang/sthiti, selanjutnya kembali ke asal/pralina, dan lahir kembali/bereinkarnasi. Melihat siklus hidup pariwisata di atas, implikasi covid-19 menjadikan pariwisata Bali kolaps, mati suri/declinasi tanpa tahu kapan akan terpulihkan/rejuvenate, seolah-olah mencerminkan tahap pralina dalam kehidupan manusia. Kepercayaan orang Bali bahwa dunia seperti roda yang berputar seperti siklus hidup manusia, ada kehidupan masa lalu, sekarang dan masa datang, menyikapi pandemi covid-19 sebagai sarana introspeksi diri/mulat sarira. Pariwisata Bali harus di pralina dulu, dikembalikan ke asalnya, barulah bereinkarnasi menjadi Pariwisata Bali New Normal/Pariwisata Bali Era Baru sesuai Jati Diri.
Tanggal 31 Juli 2020 pariwisata Bali mulai dibuka atau lahir kembali/bereinkarnasi walaupun masih dalam kondisi pandemi. Sertifikasi kesehatan atau bebas covid-19 dari setiap pelaku pariwisata adalah syarat mutlak, serta memahami dan menerapkan prinsip CHSE (Cleanlines, Healthy, Safety, Environment) sesuai protokol kesehatan dari Gugus Tugas Covid-19, Kemenkes dan WHO. Agar pariwisata Bali pulih, tumbuh dan berkembang, diperlukan disiplin tinggi dari masyarakat Bali, serta pelaku pariwisata mematuhi protokol kesehatan sehingga calon wisatawan mempunyai kepercayaan/trust yang merupakan modal utama dalam industri hospitality.
OM SWAHA.