Negara, Bali Tribune
Di tengah kondisi pertanian di Bumi Makepung yang masih bersifat tradisional dengan mempergunakan pranata masa atau perhitungan sasih, diharapkan petani krama subak bisa memanfaatkan informasi iklim dalam bercocok tanam untuk meningkatakan hasil panen.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Giofisika (BMKG) sebagai lembaga pemerintah yang memberikan informasi mengenai prakiraan cuaca dan iklim menyatakan bahwa sistem dengan pendekatan-pendekatan perhitungan waktu bercocok tanam secara tradisonal tersebut sudah sangat mengalami pergeseran.
Deputi Klimatologi BMKG, Mulyono Prabowo didampingi Kepala Balai Besar BMKG Wilayah III, I Wayan Suardana yang dikonfirmasi di sela-sela penutupan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tahap III di areal Subak Sawe Rangsasa Munduk Waru, Kelurahan Dauhwaru, Jembrana, Kamis (1/9), menyatakan bahwa ramalan cuaca menggunakan pendekatan-pendekatan konvesional tradisional seperti bulan berakhiran ber (September hingga Desember) yang selama ini dikatakan sebagai musim penghujan, namun kini realitanya hujan terjadi di setiap bulan. Kondisi tersebut akan berpengaruh selain pada masa bercocok tanam juga mempengaruhi hasil panen petani. Sehingga petani saat ini dengan kondisi iklim yang setiap tahunnya mengalami perubahan dan pergeseran sudah saatnya memanfaatkan informasi iklim yang disediakan oleh pemerintah.
Pemahaman terhadap informasi iklim ini sangat penting terlebih di saat adanya perubahan iklim dan pergeseran musim. Adanya pergeseran musim yang terjadi akan dianaslisa oleh BMKG sehingga bisa mengasilkan informasi salah satunya informasi mengenai waktu tanam. Menurutnya, waktu tanam yang tepat adalah di saat cuaca dan iklim yang mendukung yaitu di saat ketersediaan air mencukupi, begitupula dengan musim panen haruslah pada kondisi yang cukup kering. Setelah memperhatikan informasi cuaca dan iklim itu, ia memastikan akan ada peningkatan hasil panen.
Ia menyebutkan hasil statistik BPS terhadap sawah petani yang didampingi untuk mengikuti pola iklim dan cuaca mengalami peningkatan hasil panen padi hingga 500 kg per hektar dari rata-rata produksi gabah 6,9 ton pe hektar meningkat menjadi 7,5 ton per hektar. Menurutnya, saat ini petani di 34 provinsi di Indonesia sudah mulai mengikuti informasi iklim yang disediakan BMKG dalam menentukan masa bercocok tanam. Dimana saat ini juga menurutnya terjadi peningkatan pemahaman petani mengenai informasi iklim dari 50 pesen meningkat menjadi 80 persen. pihaknya berharap dengan mempergunakan informasi iklim dalam bercocok tanam, bisa tetap menjadikan Provinsi Bali sebagai sentra pangan nasional.
Bupati Jembrana I Putu Artha di sela-sela panen padi hasil Sekolah Lapang Iklim (SLI), Kamis siang, menyatakan petani di Jembrana saat ini masih sering gagal panen karena masih menggunakan perhitungan sasih. Terlebih kini sudah mulai rancu dalam masa bercocok tanam dimana petani tradisional masih mengarah pada pendekatan-pendekatan niskala, misalnya agar turun hujan mempergunakan pawang hujan saat memulai musim tanam padi serta mempergunakan jasa tukang terang saat panen padi.
Pemerintah saat ini selain memberikan bantuan bibit dan pupuk, juga sangat butuh pengetahuan dan informasi mengenai cuaca dan iklim sehingga petani bisa mengatur pola tanam dan panen sesuuai kondisi cuaca, musim dan iklim. Hal inilah yang menurut Bupati Artha seharusnya juga difasilitasi oleh BMKG dan Dinas Pertanian sehingga bisa meningkatakan swasembada beras dimana Jembrana saat ini masuk urutan ke dua daerah surplus beras.
Kebijakan Pemkab Jembrana kini juga memperioritaskan sektor pertanian seperti adanya dana talangan Rp 5 milyar untuk KUD yang membeli gabah petani, asuransi padi serta mewajibkan PNS membeli beras lokal Jembrana. Ia pun berharap Bulog bisa mengintervensi harga padi dan beras sehingga petani tidak dirugikan oleh tengkulak saat panen raya.