Amlapura, Bali Tribune
Sebagai salah satu desa tua di Karangasem, Desa Adat Bungaya memiliki berbagai upacara ritual klasik. Ritual ini bermakna tersendiri, dan menjadi filosofi bagi kehidupan warga setempat, yang tidak lepas dari sejarah kerajaan di Bali, atau tepatnya pada masa pemerintahan Raja Gelgel Dalem Waturenggong pada abad ke-16.
Salah satu upacara besar yang tergolong klasik dan tidak ditemukan di daerah lain di Bali bahkan di Indonesia, yakni Usaba Aya atau yang oleh warga setempat disebut Usabha Gede, atau Usabha Dangsil.
Upacara besar ini tidak bisa ditentukan kapan dilaksanakan, dan terakhir dilaksanakan sekitar Agustus 2002 silam. Upacara ini kembali diselenggarakan tahun ini, dimana prosesi upacaranya sudah berlangsung hampir sebulan, dan Senin (29/8) merupakan puncak dari upacara Usabha Dangsil.
Dalam sebulan prosesi digelar, tak kurang 15.000 jiwa lebih dari 3.000 lebih KK di 13 banjar adat terlibat. Mereka ngayah untuk mempersiapkan upacara besar ini hingga puncaknya Senin kemarin.
Usabha diawali dengan upacara Melasti ke segara di mana sepanjang perjalanan Ida Betara Bagus Selonding dan Ida Betara Kabeh ke tempat penyucian. Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar, salah satunya memotong jalan yang dilalui oleh Ida Betara.
Selain itu, bagi masyarakat yang berniat ikut ngiring Ida Betara mesucian khususnya yang akan Medeha-Teruna diwajibkan mensucikan diri dengan mandi di Beji. Selain itu masyarakat yang akan Medaha-Teruna juga diwajibkan berpuasa. Setelah Ida Betara kembali dari Mesucian, mereka juga diwajibkan mandi mensucikan diri di Beji, dan selepas itu mereka baru bisa melepaskan puasanya dan bisa makan minum seperti biasa.
Selain Melasti, berbagai ritual unik selama prosesi upacara Usabha Dangsil ini juga digelar, seperti Tradisi Mekales-kalesan, hingga ritual Mesaya-saya. Saking sakralnya ritual menyeleksi bahan upacara yang akan dipergunakan untuk puncak upacara Usabha Dangsil kemarin tersebut, warga dilarang mengenakan sandal, baju dan ikat kepala.
Bahkan Klian Teruna sampai ditangkap warga dan diikat di ayunan, karena dianggap tidak becus melaksanakan tugas. Ini merupakan simbol penegakan aturan agar warga betul-betul selektif dalam memilih bahan-bahan untuk upacara termasuk menjaga kesuciannya.
Seperti namanya Dangsil, menjadi sarana utama upakara dimana Dangsil terbuat dari pohon pala gantung besar yang dihiasi sedemikian ruma hingga menyerupai meru. Ada sebanyak tujuh Dangsil yang dibuat oleh seluruh Subak yang ada Desa Adat Bungaya dengan pembagian tugas tertentu, dan biasanya akan selesai dalam satu bulan. Selain tujuh Dangsil berukuran besar, juga dibuat sebanyak 38 Dangsil Taksu yang ukurannya kecil-kecil dimana nantinya dangsil ini akan dipergunakan saat ritual “Ngempet” di Pura Bale Agung.
Pada puncak upacara Usabha Dangsil kemarin, sejak pagi ribuan warga yang akan ngaturang ngayah sudah berdatangan ke Pura Bale Agung termasuk di catus pata tempat seluruh Dangsil diletakkan. Untuk Dangsil paling besar dengan tumpang sebelas beratnya bisa mencapai 10 ton dan yang bertugas mengusung ke Penataran adalah Krama dari Desa Adat Timbrah.
Sedangkan Dangsil lainnya diusung oleh Krama dari Desa Adat Asak, Desa Adat Bugbug, Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Desa Adat Tengahan Dauh Tukad, Desa Adat Gumung, Desa Adat Macang, Desa Adat Tihingan, Desa Adat Kayu Putih, Desa Adat Kastala, Desa Adat Jungsri, dan Desa Adat Batudawa, Kecamatan Kubu.
Setelah tradisi Mesaya-saya, upacara ritual dilanjutkan dengan ritual Ida Betara Kabeh katur mesucian ke Pura Penataran yang jaraknya sekitar 300 meter dari Pura Bale Agung, setelah selesai Ida Betara Kabeh kembali lagi ke Pura Bale Agung, dan dilanjutkan dengan Ida Betara Bagus Selonding katur Mesucian dari Pura Bale Agung ke Pura Penataran, dan setelah itulah ribuan Krama dari Timbrah hingga Batudawa langsung bergerak mengusung Dangsil dari lokasi diletakkan menuju ke Pura Penataran.
Di urutan pertama yakni Dangsil Desa dari Pura Bale Agung yang dinaiki oleh keturunan raja raja dari Puri Agung Karangasem, yakni AA Mudita dari Puri Agung Karangasem dan juga AA Candra Ningrat yang masih berusia 16 tahun dari Puri Kelodan, Karangasem, dan Dangsil ini diusung oleh Krama Desa Adat Kastala.
Urutan kedua yakni Dangsil Puseh, urutan ketiga yakni Dangsil Dalem dan ini merupakan Dangsil tertinggi yang dinaiki olehn Ide Dalem Semaraputra, penglingsir Puri Agung, Klungkung, dan yang bertugas mengusung Dangsil ini adalah Krama Desa Adat Timbrah, dan begitu seterusnya hingga Dangsil terakhir. Saat Dangsil Bale Agung tiba di Penataran, ribuan warga Desa Adat Batudawa pengiring Ida Betara Batudawa, langsung merangsek dan berusaha untuk keluar dari areal Pura Bale Agung. Namun secepat itu pula, ribuan warga Desa Adat Bungaya langsung Ngempet atau menutup jalan menggunakan Dangsil Taksu yang berukuran kecil.