BALI TRIBUNE - Bisnis virtual currency seperti Bitcoinyang tengah menjadi perbincangan rupanya sudah mulai menggurita bahkan merambah seluruh sektor, pasalnya daya tarik yang diberikan dengan iming iming imbal hasilnya pun menggiurkan.
Seperti dijelaskan seorang konsultan bisnis virtual currency (bitcoin) sebut saja Nana ketika memberikan penjelasan apa itu Bitcoin kepada wartawan Bali Tribune ketika mengunjungi kantornya yang berlokasi di Jalan Nakula, Seminyak, Kuta, Selasa (16/1). “Bisnis model gini sekarang lagi digandrungi masyarakat. Bukan hanya orang lokal tapi juga orang asing,” ujarnya.
Kantor konsultan yang menempati lantai dua bersama usaha money changer di lantai satu itu terlihat ramai akan aktivitas. Menurut Nana, keberadaan money changer di lantai satu untuk membantu transaksi bila ada anggota baru yang ingin bergabung. “Karena semua transaksi dalam bentuk USD makanya kita perlu money changer untuk penukaran uang, tapi kita terpisah, juga bekerja sama dengan bank untuk transaksi,” katanya lagi.
Terkait dengan adanya himbauan Bank Indonesia (BI) soal keberadaan Bitcoin dan mata uang virtual lainnya, dengan lugas ia menganggap itu hanyalah rumor belaka. Nyatanya hingga kini bisnis model ini masih berjalan dan peminatnya semakin banyak. “Saat ini anggota di Indonesia sudah mencapai satu jutaan. Bahkan yang datang mendaftar bukan hanya dari bali, dari luar Bali juga banyak,” sebutnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa virtual currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia begiu diungkapkan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman dalam siaran persnya, Sabtu (13/1) dari Jakarta.
Ditegaskan, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.
Menurut Agusman, pemilikan virtual currency sangat berisiko dan sarat akan spekulasi karena tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency serta nilai perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble).
Bitcoin dan virtual currency lainnya juga rawan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme, sehingga dapat mempengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat. “Bank Indonesia memperingatkan kepada seluruh pihak agar tidak menjual, membeli atau memperdagangkan virtual currency,” tuturnya.