Kaum Muda Bicara Soal Berkesenian di Era Digital | Bali Tribune
Diposting : 6 May 2022 01:34
M3 - Bali Tribune
Bali Tribune/Ni Putu Radika Desiana Dewi dan Ni Nyoman Eka Komala Cahyani, dua siswi SMP yang masih giat belajar seni tari.
balitribune.co.id | Denpasar - Kata ‘Ajeg Bali’ tidak asing lagi bagi mata dan telinga masyarakat di Bali. Slogan yang ditanggapi sebagai gerakan memperkokoh budaya khususnya seni di tengah masyarakat. Lalu bagaimana "ajeg Bali" di kalangan anak muda Denpasar?
 
Idealnya, antara teknologi dan seni budaya harus berjalan seimbang. Itu yang ingin disampaikan I Made Dwi Duta Prabalingga (18), yang baru saja merayakan kelulusan SMA. Ia mengaku hobi di seni tabuh sejak di bangku SD, dengan mengikuti ekstrakulikuler. Beberapa jenis tabuh yang sempat ia lakoni seperti gong kebyar, gender wayang, kontemporer dan lainnya.
 
Dwi menambahkan jika kesibukan tidak mempengaruhi kesukaannya kepada seni tabuh. Termasuk kemajuan zaman, fasilitas yang ia miliki seperti gadget tidak lantas membuat ia lupa kapan waktunya berkesenian. Teknologi juga diakuinya sedikit membantu, banyak video atau konten seni di sosial media, jadi bisa untuk menambah referensi.
 
"Walaupun gadget memang sering buat lupa waktu, tapi disaat gilirannya nabuh ya pasti dijalankan, budaya seni itu ibarat tanggung jawab, jika tidak dijalankan bisa saja hilang ditelan zaman" ucapnya.
 
Hal yang sama diungkapkan Ni Putu Radika Desiana Dewi (14). Siswa SMP N 4 Denpasar yang tertarik pada seni tari dari sebelum ia bersekolah. Tidak banyak bicara, ia mengatakan bahwa menari adalah hobi dari kecil. Awal menari ia mempelajari tari seperti tari puspanjali, tari manukrawa dan tari sekarjagat.
 
Teknologi menurut Desi hanya hiburan, tergantung dari orang tersebut bagaimana dia bisa mengatur waktu. Ia sendiri menjelaskan jika tidak terganggu oleh kemajuan teknologi.
 
Begitu juga dengan Ni Nyoman Eka Komala Cahyani (15). Siswa yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SMP ini mengaku dirinya berkesenian khususnya di tari karena hobi dan tertarik untuk mendalami seni tari. 
 
Salah satu siswa tari di Sanggar Tari Wit Tonjaya ini, sebelum usia TK sudah mengikuti latihan menari. Cita-cita menjadi guru tari yang membuat Komala semangat dan tekun mengikuti setiap latihan. Awal-awal, ia mengambil tari seperti tari puspanjali, tari pendet, dan tari condong yang ia rasa masih mudah untuk dipelajari. Hingga prestasi pernah ia raih seperti pada perlombaan tari puspanjali mewakili sanggar yang meraih juara harapan 1.
 
Bagi Komala gadget hanya untuk mengisi waktu senggang. 
 
Latihan tari yang biasanya Sabtu dan Minggu, ia gunakan dengan baik. Gadget hanya digunakan selepas menari atau saat istirahat, itupun kadang masih dimanfaatkan dengan menonton konten tentang seni tari, untuk membantu pembelajaran di sanggar.
 
"Bila dihadapkan dua pilihan, tari dan teknologi saya lebih memilih tari, tapi kemajuan teknologi juga saya ikuti, agar tidak begitu ketinggalan, dengan catatan waktu bermain gadget saya atur, terlalu sering juga tidak baik, terutama kesehatan mata, kadang juga di gadget ada yang aneh-aneh, itu ya saya lewatin saja dan cari tontonan yang lebih menarik dan bermanfaat," kata Komala.
 
Memang selayaknya teknologi mempermudah kehidupan manusia, sedangkan seni memperhalus jiwanya. Dengan adanya teknologi, muncul sisi yang justru membantu keberlangsungan seni budaya. Dengan genggaman tangan kita bisa menyaksikan pertunjukan seni bahkan diabadikan. Bisa dilihat, anak muda zaman sekarang berlomba menunjukan kemampuannya di bidang seni hanya dengan fasilitas yang dimiliki.
 
Melihat antusiasme anak muda Bali dalam berkesenian, mudah-mudahan juga diikuti oleh kesadaran yang tumbuh dari dalam diri mereka untuk ikut menjaga dan melestarikan seni dan budaya Bali.