BI Bangun Ketahanan Pangan Melalui Ketahanan Alam | Bali Tribune
Diposting : 20 June 2016 16:15
Arief Wibisono - Bali Tribune
bawang
PENGUBINAN - Pengubinan bawang merah di kelompok tani Sari Pertiwi Songan Kintamani. (inzert: Nugroho Widiasmadi

Semarang, Bali Tribune

 Upaya mewujudkan kedaulatan sektor riil secara nyata dalam kerangka untuk mewujudkan kedaulatan negeri melalui tangan tangan pemuda dengan berbagai inovasi diharapkan mampu dengan cepat, hemat, dan sehat memproduksi pupuk, pestisida dan pakan organik perbaikan lingkungan konservasi alam serta energi bersih.

Ketika berbicara ketahanan pangan yang perlu dicermati awalnya yaitu bagaimana ketahanan alam itu sendiri. Demikian kata Dr Ir H Nugroho Widiasmadi, akademisi, peneliti, praktisi yang juga bagian dari Expert Pool Bank Central Indonesia (Tim ahli BI) di sela acara workshop dengan tajuk “Integrated Urbanfarming, Ketahanan Pangan dan Energi Terbarukan,” di ANSA School Semarang, Sabtu (18/6).

“Tanpa melihat ketahanan alam, ibaratnya seperti rumah tanpa pondasi. Ketahanan alam itu harus mutlak,” katanya. Selain diikuti oleh petani dari Bali yang selama ini jadi binaan BI Bali, juga diikuti masyarakat yang punya kepedulian akan pertanian. Lebih lanjut Nugroho menjelaskan, ketika akan memulai pertanian, tanah itu mesti sehat dahulu, inovasi ini sebenarnya yang mesti dipahami oleh para petani ataupun yang ingin bertani.

Contoh, katanya, tanah yang ada di Jawa saja kondisinya saat ini kurang sehat. “Atau bahkan tanah di Bali kondisinya yang kurang sehat, melalui workshop ini, tanah tanah yang rusak dengan PHnya mencapai 3 atau 4 bisa kembali disehatkan, dan kembali berproduktif,” ujarnya. Kalau tanah itu kembali disehatkan, maka dalam satu bulan tanah tersebut telah bisa diolah, namun demikian sebelun disemai tanah itu mesti diberi mikroba.

“Setelah sehat barulah tanah itu diberi mikroba, yang tujuannya agar tahan terhadap serangan penyakit,” jelasnya. Ia menuturkan, jenis tanah yang sehat itu satu gramnya mengandung 1 milyar mikroba. “Kalau sudah kebal akan penyakit, barulah bisa bertani dengan benar,” tukasnya.
Bertanipun katanya haruslah dengan benar yaitu dengan cara mengurai tanah dengan benar. “Kalau sebelum diurai tanah itu hanya bisa menyerap hanya 20 persen, namun setelah diurai mampu menyerap sekitar 90 persen, karena dengan diurainya tanah, tanah itu akan pecah dalam artian akan siap digarap,” imbuh Nugroho.
Ketika proses penyehatan lahan atau ketahanan alam melalui penguraian telah dilakukan, menurut Nugroho barulah bisa berbicara tentang ketahanan pangan yang terstruktur dari bawah. “Percuma kalau kita bicara ketahanan pangan dengan masih menggunakan pupuk kimia, ndak ada gunanya, pasalnya kualitas dan kuantitas tidak akan tercapai,” tukasnya. Yang mestinya dilakukan yaitu terstruktur dan terintegreted dari bawah. Inovasi pembuatan pupuk secara mandiri dengan memanfaatkan bahan yang ada disekitar sangat memungkinkan.

 “Kalau petani itu pupuk, kalau hewan ya pakan, jadi konsep ini yang kita sebut integreted. Karena petani menggunakan jerami yang dicacah jadi pakan, sapinya ada kotorannya diolah jadi pupuk atau energi, jadi semua berputar, ini yang kita namakan integrated,” sebutnya. Menurutnya proses inilah yang dikerjasamakan dengan seluruh kantor Bank Indonesia, kecuali Papua, dan inovasi ini telah dilakukan sejak tahun 2004.
Dewi Setyowati, Kepala KpW Bali yang dihubungi secara terpisah, ketika dimintai komentarnya terkait workshop ketahanan pangan ini mengatakan, Workshop sangat bermanfaat terutama di setiap provinsi yang memiliki potensi pertanian tinggi. “Dengan potensi pertanian yang cukup tinggi, workshop ini sangatlah penting dan bermanfaat bagi selain bagi daerah juga bagi petani,” ucapnya singkat.
Tidak bisa dipungkiri jika upaya KpW BI Bali dengan adanya inovasi telah membuahkan hasil yang signifikan. Tentunya hal ini bisa dilihat dari hasil ubin padi tanpa organik tahun 2015, 4.5 ton /hektar, dibandingkan dengan tahun 2016 organik 7.88 ton/hektar . Subak pulagan awal 5,4 ton/hektar, tanam ke 2 hasil 7,8/hektar, tanam ke 3 hasil 9,4 ton/hektar. Subak Getas awal 5 ton/hektar, panen 1 hasil 7,2 ton/hektar. Subak Yangai awal 12 ton , panen organik hasil 18,6 ton/hektar. Kelompok Sari Pertiwi Songan bawang merah awal 9,5 ron/hektar , panen organik rata2 22 ton/hektar. Tulikup bawang merah 1 pengubinan 14,48 ton/hektar. Hasil 10plot terendah 10,7 ton /hektar, tertinggi 34,2 ton/hektar.